Beranda Sejarah Kisah Bangsa Mongol

Kisah Bangsa Mongol

Pada abad ketujuh Hijriyah/abad ketiga belas Masehi, terbentuklah imperium besar bangsa Mongol setelah beberapa abad lamanya hidup di padang yang luas dan dataran-dataran tinggi di China Utara. Kekuasaan mereka semakin luas dan kuat hingga menaungi banyak bangsa di bawah kekuasaannya, yang memiliki peradaban unik dan beragam. wilayah kekuasaannya semakin luas dan berkembang sangat cepat, yang membentang hingga mencakup sebagian besar wilayah Benua Asia, terutama Asia Timur. Dengan keberhasilannya itu, ia mampu memimpin sebuah pemerintahan yang mencakup dua peradaban timur sekaligus; yaitu peradaban timur jauh dan timur dekat.

Sejarah Bangsa Mongol
Sejarah Bangsa Mongol

Meskipun imperium ini ditopang oleh orang-orang primitif, dimana unsur-unsur dan elemennya berbeda-beda dan beragam karena perbedaan nenek moyang dan asal keturunan mereka, akan tetapi ia berhasil menjaga persatuan dan kesatuannya dalam waktu yang lama. Bahkan ketika imperium tersebut harus dibagi dalam beberapa wilayah, dimana masing-masing memiliki pemerintahan sendiri dari Dinasti Jenghis Khan, namun tetap hidup dalam naungan sebuah pemerintahan utama dengan segenap kekuatan dan kewibawaannya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa dan pemerintahan lainnya.

Jika kita pelajari secara intensif tentang tempat bermukimnya suku-suku Mongolia ini, maka kita akan mengetahui bahwa mereka mendiami sebuah wilayah yang popular dengan nama Mongolia, yang membentang ke arah selatan dan sabuk selatan dari Siberia yang terletak di sebelah utara daratan China, dan membentang ke timur dari wilayah Turkistan. Wilayah-wilayah ini dihuni oleh sejumlah suku primitif pada abad keenam Hijriyah.

Mayoritas suku ini adalah orang-orang Mongol. Akan tetapi mereka tidak dikenal dengan nama ini kecuali bersamaan dengan berjalannya waktu oleh bangsa Eropa yang menyebut mereka demikian pada saat ini. Bangsa Mongol ini merupakan keturunan bangsa Turki.

Nenek moyang bangsa Mongol hidup dalam blok-blok kecil bernama Amuk. Blok-blok kecil ini terbagi-bagi lagi berdasarkan perannya dalam beberapa bagian yang lebih kecil dalam bentuk anak Kabilah atau kelompok-kelompok yang memiliki hubungan dan ikatan sosial.

Biasanya beberapa suku membentuk sebuah persatuan di antara mereka sehingga terbentuk sebuah suku yang besar. Tak jarang beberapa suku yang masih memiliki hubungan nasab melakukan asimilasi dan peleburan di antara mereka sehingga membentuk sebuah ikatan suku federal. Yang mendorong persatuan dan kesatuan mereka adalah hubungan kekerabatan dan perasaan tentangnya. Di samping itu, mereka juga dipersatukan oleh bahasa dan dialek. Suku-suku bangsa Mongolia terbagi-bagi berdasarkan ketrampilan yang mereka miliki dalam dua kelompok; Satu kelompok yang memiliki ketrampilan menggembala ternak di padang rumput dan savana.

Kelompok lainnya yang cenderung berburu memasuki hutan-hutan belantara dan semak belukar. Meskipun kedua kelompok ini berkomunikasi dengan dialek daerah setempat, akan tetapi masing-masing dari keduanya memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki kelompok lain, seperti gaya hidup, tingkat peradaban, dan kebudayaannya. Kedua kelompok ini juga tidak terikat dalam sebuah pemerintahan khusus yang dijadikan sebagai pandangan hidupnya, sebagaimana banyak dilakukan di berbagai negara dewasa ini.

Meskipun demikian, dalam medan kehidupan muncul beberapa sosok yang memiliki bakat kepemimpinan yang kuat, yang terkadang mendapat gelar Pahlawan (Bahadur), Orang yang Bijaksana (Sitsyin), Cerdas ( Baljugi), Pemimpin (Tessie), dan Komandan atau Mulia (Noyan). Adapun para kepala suku, maka bergelar Raja (Khan), atau gelar kekaisaran (Hakan). Inilah gelar-gelar yang berkaitan dengan kelompok penguasa atau Aristokrat. Adapun yang berkaitan dengan rakyat jelata, gelar yang biasanya disematkan pada individu-individunya adalah Art atau Garcho. Sedangkan kelas hamba sahaya biasanya mendapat sebutan Bicol. Suku Tatar memiliki kedudukan penting dan mendominasi di antara suku-suku Mongolia lainnya pada abad kedua belas Masehi atau abad keenam Hijriyah.

Di daerah yang terletak antara wilayah pemukiman suku Tatar dengan suku-suku Keerat dan di sepanjang tepi sungai Onon dan Carolyn (Herlen), dihuni oleh suku-suku dan marga yang memiliki ketrampilan menggembala dan berburu. Di antara suku-suku ini adalah suku Mongol, dimana suku ini mampu mengantarkan dirinya dalam tempat yang strategis dan istimewa di antara suku-suku lainnya pada abad kedua belas Masehi atau abad keenam Hijriyah.

Kepala sukunya menyandang gelar Khaqan/ Hakan, hingga pada saatnya nanti menjelma sebuah kekuatan menakutkan dan memimpin ekspedisi-ekspedisi militer di daratan China, yang ketika itu dikuasai sebuah dinasti asing, yang dikenal dengan nama sebutannya. Keluarga yang berkuasa di bawah pimpinan Borjigin. Nama Mongol tidak dikenal kecuali setelah beberapa suku dan kabilah di sekitarnya tunduk dan berada di bawah kekuasaannya.

Dengan demikian, maka terbentuklah sebuah kesatuan politik bagi sebuah bangsa yang bersatu hingga mendorong Paulus memberikan nama Mongol untuk mengenang sebuah bangsa yang agung. Hingga kemudian muncullah Tatar sebagai kekuatan pasukan terkemuka sekitar pertengahan abad kedua belas Masehi.

Sekitar tahun 1055 M dan di sepanjang sungai Onon di dekat wilayah Deleon lahirlah seorang anak dari keluarga Yesugei Bahadur. Bayi yang baru lahir ini memiliki sebuah ciri berupa darah yang membeku. Bayi inilah yang kemudian popular di dunia internasional ketika itu dengan nama Jenghis Khan. Dialah yang kemudian menjadi komandan militer terkemuka di antara komandan Mongol atau Tatar lainnya.

Dari pemaparan singkat mengenai realita ini, maka timbul pertanyaan penting; Apakah Mongol adalah Thtar, ataukah mereka dua nama yang berbeda?

Para pakar sejarah Arab, orang-orang yang berinteraksi dengan mereka, dan menyaksikan peperangan-peperangan yang mereka lakukan menyatakan bahwa, mereka adalah orang-orang Tatar atau Thtar.

Begitu juga dengan Para pakar sesudahnya, yang mengikuti pandangan serupa. Hal yang sama juga dilakukan para pakar sejarah muslim Arab kontemporer, dan diikuti oleh para pakar sejarah dan petualang Eropa.

Akan tetapi sejumlah orientalis kontemporer Eropa menjelaskan perbedaan antara Tatar dengan Mongol. Hal itu dapat ditelusuri melalui tulisan-tulisan seorang pakar sejarah muslim dari Persia bernama Rasyiduddin Al-Wazir. Terutama dalam bukunya Lami’ At-Tarikh (Sejarah Lengkap). Begitu juga dengan kaum orientalis yang menulisnya tentang hal itu dengan menggunakan bahasa Mongol.

Berdasarkan penjelasan ini, maka kita temukan bahwa Mongol berbeda dengan Tatar. Bisa saja ada hubungan pengertian antara keduanya, yang dapat kami kemukakan secara singkat: Tatar bisa dikatakan Mongol. Akan tetapi Mongol tidak bisa dikatakan Tatar. Sebab Tatar merupakan bagian dari Mongol sedangkan Mongol bukanlah cabang dari Tatar. Dengan demikian dapat dikatakan, Mongol merupakan suku utamanya, sedangkan Tatar bagian atau cabang darinya. Meskipun Tatar merupakan cabang dari Mongol dan memiliki pemerintahan merdeka, ia mampu menguasai Mongol selama beberapa dekade.

Hanya saja, pada periode dimana kita membahasnya sekarang ini, yaitu abad keenam Hijriyah, Mongol datang sebagai kekuatan besar di bawah kepemimpinan Jenghis Khan, sehingga mereka berhasil mengalahkan Tatar dan membunuh semua kaum laki-laki dan menawan semua kaum perempuan, serta memperbudak anak-anak mereka. berdasarkan fakta sejarah ini, maka kita dapat mengatakan bahwa Tatar telah musnah ditangan pemimpin besar Mongol. Mongol pun menjadi penguasa pemerintahan, yang menguasai, dan membentuk imperium mereka, yang kemudian dikenal dalam sejarah Mongol dan bukan Tatar.

Ajaran Mongol dalam Al-Yasaq

Jenghis Khan bertekad kuat untuk memajukan keadaan negaranya, terutama dalam bidang sosial dan etika dengan merumuskan sebuah undang-undang yang mirip dengan Kitab Suci keagamaan,yang dijadikan pandangan hidup mereka dalam berinteraksi. Ia merumuskan sejumlah hukum dan aturan di dalamnya. Jenghis Khan merumuskan aturan-aturan tersebut dalam sebuah buku berjudul Al-Yasaq atau Al-Yasah.

Kata Al-Yasaq sebagaimana dikatakan Al-Qalqasyandi- berarti assiyasah (politik). Kata as-siyasah berasal dari bahasa Mongol dan berasal dari suku kata Yasah,yang kemudian oleh penduduk Mesir diselewengkan dengan menambahkan huruf sin pada awalnya. Mereka mengatakan, “siyasah.” Lalu mereka menambahkan huruf alif dan lam. Sehingga orang yang tidak mengenalnya akan meyakini bahwa as-siyasah adalah bahasa Arab asli. Padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian, dan yang benar adalah sebagaimana yang kami katakan kepada Anda.

Jadi, dengarlah bagaimana kata ini berkembang hingga menyebar di kalangan penduduk Mesir dan Syam. Hal itu disebabkan bahwa Jenghis Khan yang merupakan komandan militer dan pemimpin tertinggi pemerintahan Tatar di wilayah Timur ketika mengalahkan Aonik Khan dan mampu mendirikan pemerintahan sendiri, maka ia memutuskan untuk merumuskan sejumlah kaidah dan prinsip serta aturan-aturan dengan hukumannya yang ditulisnya dalam sebuah buku yang dinamakan Yasah. Adapula yang menyebutnya Yasaq. Akan tetapi nama aslinya adalah Yasah. Yasah pada dasarnya adalah bahasa Turki Klasik, yang berarti al-qanun al-ijtima’i (undang-undang sosial).

Daftar Aturan dan Hukuman Bangsa Mongol

Diantara aturan-aturan dan hukuman yang dirumuskan Jenghis Khan dalam Al-Yasaq ini adalah sebagai berikut:

  1. Membunuh orang yang berzina.
  2. Membunuh orang yang sengaja berdusta, melakukan sihir, memata-matai orang lain atau menjadi penyebab terjadinya konflik antara dua orang dan memihak salah satu dari keduanya dan membantunya.
  3. Membunuh orang yang kencing dalam air atau abu bakar.
  4. Membunuh orang yang diberi sesuatu lalu dirusaknya, maka ia dibunuh untuk ketiga kalinya.
  5. Membunuh orang yang memberi makan tawanan suatu kaum atau memberi pakaian kepadanya tanpa seizin kaumnya.
  6. Membunuh orang yang mendapati hamba sahaya atau tawanan Perang yang melarikan diri dan tidak dikembalikan kepada pemiliknya. Di antara aturan-aturan yang diterapkan juga oleh Jenghis Khan adalah yang berkaitan secara khusus dengan binatang:
    • Cukup dengan mencekik jantung binatang hingga mati lalu dagingnya dikonsumsi.
    • Bagi yang menyembelih binatang sebagaimana sembelihan umat Islam boleh dimakan.
    • Orang yang pakaian atau barang-barang yang dimilikinya terjatuh ketika sedang melakukan perang gerilya atau melarikan diri dari medan pertempuran, sedangkan di belakangnya terdapat seseorang yang mengetahuinya, maka orang tersebut harus mengambil barang-barang yang terjatuh dan menyerahkannya kepada pemiliknya. Jika ia tidak mau turun dan mengambil serta tidak menyerahkannya kepada pemiliknya, maka hukumannya adalah dibunuh.

Di antara aturan-aturan penting dan fundamental yang diterapkan Jenghis Khan dalam Al-Yasaq-nya adalah:

  1. Menghormati semua agama tanpa fanatisme terhadap agama tertentu. Ia juga mensyaratkan bahwa seseorang tidak membiarkan anak keturunan Ali bin Abi Thalib menderita atau tak terpenuhi hajat hidupnya. Tidak seorang pun dari kaum fakir, al-qurra’, para fuqaha’, dokter, para ilmuan lainnya, ahli zuhud, ahli ibadah, dan orang yang mengumandangkan adzan, serta orang yang memandikan jenazah mengalami hal itu.
  2. Ia mewajibkan masyarakat untuk tidak membiarkan seorang pun memakan makanan orang lain sebelum pemiliknya memulainya terlebih dahulu, meskipun ia adalah seorang pemimpin dan yang memberinya adalah tawanan.
  3. Seseorang tidak boleh mengonsumsi sesuatu sendirian sedangkan ada orang lain yang melihatnya, melainkan ia berkewajiban menawarkan makanannya kepada orang tersebut. Tidak seorang pun boleh kenyang sedangkan tetangganya menderita kelaparan. Apabila seseorang melewati suatu kaum yang sedang makan, maka boleh baginya ikut makan bersama mereka meskipun tanpa izin. Tidak boleh seorang pun dari orang-orang tersebut untuk melarangnya ikut makan.
  4. Tidak boleh seorang pun boleh memasukkan tangannya ke dalam air, melainkan harus menuangkannya atau mengambilnya dengan gayung dan sejenisnya. Mereka juga tidak boleh mencuci pakaian mereka hingga usang, sebagaimana mereka dilarang membedakan antara sesuatu yang najis dan yang suci.
  5. Tidak boleh membesar-besarkan penyebutan gelar dan mengagung-agungkan orang lain, melainkan berbicara kepada Penguasa ataupun lainnya dengan menyebut namanya saja.
  6. Jenghis Khan juga mengharuskan pawai pasukan dan memperlihatkan persenjataan masing-masing jika akan menghadapi sebuah pertempuran. Masing-masing personel pasukan harus bisa menunjukkan persenjataan yang dimilikinya hingga meskipun berupa jarum untuk menjahit. Bagi yang kedapatan lalai merawat sesuatu yang dibutuhkan ketika dilakukan pengecekan, maka akan dijatuhi hukuman.
  7. Jenghis Khan mewajibkan kaum Perempuan dalam bidang kemiliteran sebagaimana kewajiban-kewajiban yang dilakukan kaum laki-laki ketika mereka sedang mendapatkan tugas dari penguasa. Setiap tahun, mereka berkewajiban memperlihatkan putri mereka yang masih perawan di hadapan penguasa agar dapat memilih siapa saja dari perempuan itu yang dikehendakinya, baik untuk dirinya ataupun untuk putra-putranya.
  8. Jenghis Khan mengangkat beberapa komandan militer dan mengklasifikasikan mereka berdasarkan jumlah bawahannya. Ada komandan yang membawahi seribu personel, ada yang membawa seratus personel dan adapula yang membawahi sepuluh personel.
  9. Apabila salah satu komandan militer atau walikota melakukan kesalahan meskipun berpangkat tinggi lalu dikirimkan kepadanya untuk menjatuhkan sanksi, maka ia harus segera melaksanakan hukuman yang dijatuhkan melalui utusan tersebut. Dia harus tunduk dan merendah hingga dilaksanakannya hukuman yang harus diterimanya sebagaimana perintah sang raja, bahkan meskipun hukuman itu harus merelakan nyawanya.
  10. Jenghis Khan mengharuskan para pemimpin atau komandan militernya untuk tidak ragu-ragu mengubah pemerintahan, dan bagi yang ragu-ragu dibunuh.
  11. Jenghis Khan mendirikan pelayanan pos agar ia dapat memantau semua informasi negaranya dan ia mengangkat putranya Chagatai untuk mengawasi pelaksanaan hukum yang ditulisnya dalam Al-Yasaq.

Menerapkan Hukum Islam

Al-Maqrizi berkata, “Ketika Jenghis Khan meninggal dunia, maka putra-putrinya berkomitmen menjalankan hukum-hukum dan aturan yang telah dirumuskan ayahnya itu secara total layaknya komitmen generasi muslim pertama menerapkan hukum-hukum Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai agama. Sehingga tidak dikenal seorang pun dari mereka yang menyimpang darinya.

As-Suyuthi berkomentar tentang agama dan kepercayaan mereka, “Mereka bersujud menyembah matahari ketika terbit, tidak mengharamkan apa pun, mengonsumsi segala jenis binatang, manusia, dan tidak mengenal perkawinan melainkan seorang perempuan dapat disetubuhi siapa saja yang menghendakinyai.

Tidak diragukan lagi bahwa undang-undang, kebijakan politik, atau hukum yang dirumuskan Jenghis Khan ini memberikan pengaruh luar bisa pada semangat kebangsaan mereka dan mendukung aktivitasnya, serta mengangkat harga dirinya; baik sosial maupun etika. Inilah yang tampak jelas pada diri mereka.

Adapun etika dan sikap mereka yang brutal, kejam, dan sadis, suka mengingkari janji-janji, dan membenci agama-agama, maka sangat jelas dan sering kita dengar dalam pertempuran-pertempuran yang mereka hadapi. Mereka terkenal dengan kesadisan dan kebrutalannya. Meskipun aturan-aturan dan hukum yang dirumuskan Jenghis Khan ini tampak kaku dan kejam, bahkan berlebihan. Namun semua itu mampu mendorong kemajuan bangsa Mongol dalam bidang militer dan tatanan sosial.

Sebagaimana ia melarang terlibat dalam agama-agama dan kepercayaan (tidak boleh memeluk agama atau kepercayaan tertentu) berhasil menghindari perpecahan dan konflik keagamaan dan sektarian. Konflik dan perseteruan inilah yang selama ini mewarnai sejarah dan kehidupan umat Islam hingga mengantarkan mereka dalam berbagai penderitaan dan bencana.

Inilah ajaran dan aturan yang dirumuskan Jenghis Khan, yang pada akhirnya mampu membentuk sebuah pasukan militer yang kuat dan dilengkapi dengan persenjataan lengkap serta personil yang melimpah. Mereka juga dipimpin oleh para komandan militer yang tidak mengenal apa pun kecuali loyalitas kepada penguasa dan cinta Tanah Air dan bangsa. Undang-undang ini pun mampu mendorong seseorang yang bersalah untuk menjatuhkan hukuman secara langsung kepada dirinya sendiri, bahkan ia segera melaksanakan hukuman tersebut hanya dengan indikasi-indikasi yang melibatkannya.

Di samping itu, undang-undang yang dirumuskan Jenghis Khan ini melibatkan kaum perempuan sebagai elemen penting dalam kemiliteran yang dapat diandalkan ketika dibutuhkan, serta menempatkan rakyat Mongol sebagai masyarakat yang sadar hukum sehingga memperhitungkan segala sikap dan perilakunya.

Adapun sisi negatif undang-undang Al-Yasaq ini adalah tidak membedakan antara barang najis dan barang suci. Bisa jadi, aturan inilah yang menjadikan mereka tidak perlu mencuci pakaian hingga usang. Bisa jadi, perumusan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk membiasakan rakyatnya hidup sederhana dan bekerja keras, serta tidak bermewah-mewah, yang pada akhirnya mengantarkan mereka pada kelemahan sehingga merusak semangat juang dan kemiliteran mereka. Adapun tentang meringankan penderitaan terhadap putra-putri Ali bin Abi Thalib serta penghormatannya terhadap ulama dan umat Islam, maka bisa jadi Jenghis Khan terpengaruh dengan kaum Syiah yang hidup berdampingan dengan mereka di perbatasan imperiumnya.

Dalam hal ini, ia ingin bersikap ramah terhadap umat Islam dengan menghormati Ahlul Bait dan para sahabatnya. Meskipun di sana terdapat beberapa poin yang tidak layak untuk diterapkan dari undang-undang Al- Yasaq ini, akan tetapi secara umum sangat potensial untuk membangun sistem administrasi dan sosial bangsa Mongol dalam waktu singkat di sepanjang sejarah pemerintahan mereka.