Beranda Sejarah Biografi KH Abdul Halim Majalengka, Ulama dan Pahlawan Indonesia

Biografi KH Abdul Halim Majalengka, Ulama dan Pahlawan Indonesia

KH. Abdul Salim
KH. Abdul Salim / Foto: Wikipedia
  • Lahir: Majalengka 26 Juni 1887
  • Wafat: Majalengka 17 Mei 1962
  • Gelar: Pahlawan Nasional
  • Dasar penetapan: Keppres No. 41/TK/2008
  • Tanggal penetapan: 6 November 2008

Tidak banyak yang mengenal namanya, tapi yang pasti ia tokoh penting dalam perjuangan bangsa Indonesia. Buktinya, ia menjadi salah satu anggota Dokuritsu Zyunbi Choosakai [Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI] yang bertugas menyusun konsep Undang-Undang Dasar. Selain itu, beliau juga diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat [KNIP] yang fungsinyai seperti parlemen saat ini. Ia juga menjadi anggota dewan Konstituante selepas pemilu pertama 1955. Tujuh tahun sebelumnya, saat republik bergolak akibat agresi militer Belanda yang sewenang- wenang, ulama ini bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga gigih menentang keras berdirinya negara Pasundan, negara boneka buatan Belanda.


Belajar Agama Sejak Kecil

Abdul Halim merupakan ulama besar dan tokoh pembaharuan di bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Nama aslinya adalah Otong Syatori atau ada yang menyebut Mohammad Sjatari. Ia anak terakhir dari tujuh bersaudara, dari pasangan KH. Muhammad Iskandar dan Hajjah Siti Mutmainah. Ayahnya merupakan seorang penghulu Kewedanan Jatiwangi Majalengka. Abdul Halim memang sudah mendapatkan pendidikan agama sedari kecil. Di usianya yang menginjak 10 tahun beliau sudah bisa membaca al Qur’an, lalu mondok menjadi santri ke beberapa orang kyai di penjuru daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah hingga berusia 22 tahun. Di sela-sela nyantri, ia menyempatkan kerja dagang minyak wangi, kain batik, hingga kitab-kitab pelajaran agama.

Di usianya yang ke-22 tahun, Syatori menunaikan ibadah haji ke Mekkah sembari mendalami ilmu agama di sana. Beliau tinggal di tanah Arab selama 3 tahun.untuk Memperdalam pengetahuan ilmu agamnya dengan belajar kepada ulama-ulama Mekkah. Di sana pula Abdul Halim muda bertemu dengan ulama besar KH. Mas Mansyur [tokoh Muhammadiyah] dan KH. Abdul Wahab Hasbullah [tokoh Nahdatul Ulama]. Pada 1911, ia kembali ke Hindia dengan berganti nama menjadi Abdul Halim dan menolak untuk menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda.


Mendirikan Organisasi Berbasis Islam

Abdul Halim segera mewujudkan cita-citanya, melakukan perbaikan rakyat melalui jalur pendidikan dan penataan ekonomi. Dalam merealisasi cita-citanya, ia mendirikan Majlis Ilmu [1911], sebuah tempat pendidikan agama. Saat itu, ia telah menjadi pimpinan Serikat Islam cabang Majalengka dan pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan Hayatul Qulub. Selain aktif dalam bidang sosial ekonomi dan kemasyarakatan, Ia juga konsisten dalam pengembangan ide pembaruan pendidikan. Anggota dari organisasi tersebut terdiri dari para tokoh masyarakat, pedagang, petani dan santri. Idenya meliputi delapan bidang perbaikan yang disebut dengan Islah as-Samaniyah. Melihat perkembangan kegiatan Abdul Halim, pemerintah kolonial mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah mengutus PID, polisi rahasia, untuk mengawasi pergerakan Abdul Halim. Benar saja, pada 1915, Hayatul Qulub dibubarkan pemerintah kolonial.

Berikutnya, pada 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin, sebuah lembaga pengembang pendidikan. Akan tetapi, setahun berselang, lagi-lagi pemerintah kolonial membubarkannya. Abdul Halim pantang menyerah, ia lantas mendirikan Persyarikatan Ulama hingga akhirnya diakui oleh pemerintahan kolonial pada tanggal 21 Desember 1917. Organisasi ini berkembang hingga pada 1924 telah dibuka cabang di seluruh Jawa dan Madura.

Di samping kegiatan sosial, ia juga bergiat dalam dagang. Ia mengembangkan pertanian, membuka usaha tenun hingga mendirikan percetakan. Ia lalu mendirikan sekolah bernama Santi Asromo pada April 1942 di Majalengka. Di tahun itu juga ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam. Pada 1943, ia menjadi salah seorang pengurus Masyumi [Majlis Syuro Muslimin Indonesia]. Dalam politik fasisme Jepang, ia kemudian masuk menjadi salah satu anggota Badap Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI] dan selepas kemerdekaan, ia terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat [KNIP].


Berjuang Melawan Pasukan Belanda

Abdul Halim langsung berubah langkah saat Belanda melancarkan Agresi militer pertama dan kedua. Ia ikut bergerilya dengan basis di sekitar kaki Gunung Ciremai. Memimpin langsung anak buahnya mengadang pergerakan militer Belanda di wilayah Keresidenan Cirebon. Militer Belanda kemudian menyerang Pasirayu, tempat tinggal Abdul Halim dan sekolah Santi Asromonya. Ia segera ditangkap oleh Belanda dan diinterograsi Nefis, meski kemudian dibebaskan. Ia tidak jera dan justru kemudian menjadi penyuplai logistik gerilyawan republik. Saat Negara Pasundan didirikan oleh Muhammad Musa Suria Kartalegawa pada18 November 1946 di Bandung, ia segera membentuk Gerakan Muslimin Indonesia [GMI] di Bandung yang memelopori gerakan menentang negara Pasundan, bahkan Abdul Halim menjadi ketuanya. Berbarengan dengan itu, saat Kartosuwiryo mendirikan Negara Islam yang berpusat di Tasikmalaya, Abdul Halim juga menentang gerakan ini dan menganjurkan rakyat mendukung Republik Indonesia.

Selepas Indonesia kembali kebentuk kedaulatan, pemerintah kemudian menyelenggarakan pemilu pertama pada 1955. Abdul Halim kemudian terpilih menjadi anggota Konstituante mewakili Masyumi. Ia berkiprah hingga lembaga ini bubar melalui dekrit presiden 5 Juli 1959. Sebulan sebelum penangkapan Kartosuwiryo yang ditentangnya di gunung Rakutak, Abdul Halim meninggal dunia dalam usia 75 tahun. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan bangsa dan pendidikan bangsa, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan nasional pada 2008, bertepatan dengan perayaan hari pahlawan.