Beranda Sejarah Biografi KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Hadratus Syaikh dari Tebuireng

Biografi KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Hadratus Syaikh dari Tebuireng

KH Muhammad Hasyim Asyari
KH Muhammad Hasyim Asy’ari
  • Lahir: Jombang 10 April 1875
  • Wafat: Jombang 25 Juli 1947
  • Gelar: Pahlawan Kemerdekaan Nasional
  • Dasar penetapan: Keppres No. 294 Tahun 1964
  • Tanggal penetapan: 17 November 1964

Beliau merupakan ulama besar yang disegani kaum Islam, juga seorang pemimpin yang cerdas. Ibunya pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Bagi orang Jawa, itu adalah tanda, sebuah wahyu bahwa sang bayi kelak akan jadi pemimpin besar. Dalam usia muda, 13 tahun, ia telah tunjukkan bakat kecerdasannya. Ia telah jadi guru pengganti di pesantren, mengajar para santri yang terkadang berumur jauh di atasnya. Sekali waktu, ia singgah di Tebuireng, mendirikan rumah bambu dan menjadi pusat belajar kaum santri. Embrio Pesantren Tebuireng dimulai sejak detik itu, hingga hari ini, Tebuireng merupakan salah satu pesantren paling besar dan paling penting di tanah Jawa. Menjadi sumber ulama dan pemimpin pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Gurunya, Mohammad Cholil, menaruh hormat dan balik menimba ilmu darinya hingga orang-orang yang takzim padanya menyebut sang ulama dengan gelar: Hadratus Syaikh [Maha Guru].

Mohammad Hasyim Asy’ari merupakan putra ulama dan dipercaya masih memiliki warisan darah Sunan Giri. Ayahnya, Kyai Ashari, merupakan pemimpin Pesantren Keras di selatan Jombang. Sang ibu, Halimah, adalah merupakan putri dari Kyai Usman, pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Gedang Jawa Timur. Juga seorang pemimpin Thariqah ternama pada akhir abad 19 Masehi. Hasyim merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Sejak kecil ia sudah hidup di lingkungan pesantren dan bergaul dengan sesama santri. Mula-mula ia mendapat pendidikan agama dari ayah dan kakeknya, kemudian di pesantren-pesantren lain, seperti pesantren Langitan Tuban, pesantren Trenggilis Semarang, Wonokoyo Probolinggo, pesantren Demangan Bangkalan Madura yang diasuh oleh Kyai Haji Mohammad Cholil dan akhirnya ke pesantren Siwalan Sidoarjo. Di Pesantren Siwalan, beliau mendalami ilmu agama dengan belajar pada kyai Jakub yang akhirnya diambil jadi menantu. Pada tahun 1893, ia naik haji untuk kedua kali dan tinggal di Mekah selama tujuh tahun untuk memperdalam pengetahuan agama. Dalam perjalanannya pulang, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Setelah pulang, pada 1899, ia bekerja di pesantren kakeknya, pesantren Gedang.

Di tahun yang sama pula, Hasyim membeli sebidang tanah di Dukuh Tebuireng, 1 kilometer timur desa Keras. Ia membangun pondok bamboo dan segera membuka pesantren sendiri bernama Pesantren Tebuireng. Di masa awal, santrinya hanya berjumlah 8 orang. Tapi Tebu Ireng terus berkembang, menerima berpuluh- puluh murid, dan mengajarkan Al quran dan hadits. Perkembangan pesantren Tebuireng kemudian masuk dalam pengawasan pemerintah kolonial Belanda hingga pada 1913, polisi Belanda pernah menggeledah pesantren Tebuireng.

Pada 31 Januari 1926, Hasyim Ashari mendirikan Nadhlatul Ulama [NU] dan ia segera menjadi rais akbar [ketua] pertama. NU kemudian menjadi organisasi Islam yang besar dan nama sang ulama semakin tenar. Pemerintah kolonial mencoba merangkulnya dengan memberikan anugerah bintang jasa pada 1937, tapi Hasyim menolaknya. Ia terus menentang Belanda, salah satu jalannya, ia pernah membuat fatwa haram naik haji dengan kapal Belanda. Umat Islam Hindia banyak yang mengikutinya, hingga van der Plas, gubernur Jawa Timur kolonial, kebingunan karena banyak jamaah batal naik haji. Tentu pemerintah kolonial rugi besar.

Di masa awal pendudukan Jepang, Hasyim menolak perintah seikerei, membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Akibatnya ia ditangkap dan dipenjara selama 4 bulan. Ia baru keluar pada 18 Agustus 1942. Ia bebas karena banyak kyia protes dan banyak santri yang meminta ditahan bersama Hasyim. Setelah itu, Hasyim kembali ke Tebuireng, kembali ke pesantrennya. Hanya berselang dua tahun, tentara Sekutu dan terutama NICA, datang ke Hindia Belanda. Hasyim segera tergerak untuk menentang kedatangan mereka. Hasyim bersama para ulama menyerukan jihad melawan Sekutu di Surabaya. Hasilnya para santri membentuk laskar perjuangan dan aktif terlibat dalam pertempuran Surabaya, 10 November 1945.

Sebelum itu, Hasyim masih sempat menghadiri kongres umat Islam di Yogyakarta dan merumuskan berdirinya Masyumi. Hasyim yang memiliki kharisma besar diangkat menjadi pemimpin pertamanya.

Saat perudingan Linggajati yang diteken pada November 1946 mengalami kebuntuan, Belanda segera melancarkan aksi militer pertamanya. Bahkan pada 21 Juli 1947, malam hari, tentara Belanda telah menyerbu wilayah Jawa Timur. Pertempuran terus terjadi. Banyak rakyat yang menjadi korban. Ditengah-tengah peperangan ini, saat mendengar tentara Belanda telah menyerbu Singosari Malang, Hasyim Ashari meninggal dunia dalam usia 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan pesantren Tebuireng. Atas jasa-jasanya dalam kegiatan keagamaan dan perjuangan bangsa, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1964.