Beranda Sejarah Biografi Raden Mas Tumenggung Ario Suryo, Sang Gubernur Sejati

Biografi Raden Mas Tumenggung Ario Suryo, Sang Gubernur Sejati

Raden Mas Tumenggung Ario Suryo
  • Lahir: Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898
  • Wafat: Bago, Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur, 10 September 1948
  • Gelar: Pahlawan Kemerdekaan Nasional
  • Dasar penetapan: Keppres No. 294 Tahun 1964
  • Tanggal penetapan: 17 November 1964

Bernama lengkap Raden Mas Tumenggung Ario Suryo, beliau lahir di Magetan pada tanggal 9 Juli 1898. Setelah menyelesaikan studi dari Hollandsch-Inlandsche School atau HIS (setingkat Sekolah Dasar), ia melanjutkan sekolah ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, yang tak lain adalah sekolah pendidikan bagi calon pegawai-pegawai bumiputra. Setelah lulus pada 1918, beliau lalu bekerja sebagai pamong praja di Ngawi. Kemudian dua tahun berikutnya dipindahkan ke Madiun dan menjabat sebagai Mantri Veldpolitie. Tahun 1922 Ario Suryo memeroleh kesempatan melanjutkan pendidikan polisi di Sukabumi. Setelah menjalani masa kerja sebagai asisten wedana di beberapa tempat, ia kembali mendapat kesempatan belajar, kali ini di Bestuurs School di Batavia.

Pengalaman pendidikan Aryo Suryo menunjang karier dalam pemerintahan selama tiga periode membuatnya diangkat sebagai wedana dan sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kemudian menjadi Bupati Magetan pada tahun 1938 hingga berakhirnya masa pemerintahan Belanda. Di era pendudukan Jepang, ia dipercaya memegang jabatan Syucokan (Residen) Bojonegoro. Paska Kemerdekaan Republik Indonesia, Aryo Suryo didapuk menjadi Gubernur Jawa Timur berkedudukan di Surabaya.

Sebagai Gubernur Jawa Timur, Aryo Suryo menghadapi situasi kritis paska pendaratan pasukan Inggris di Surabaya pada tanggal 23 Oktober 1945. Kedatangan pasukan Inggris untuk melucuti tentara Jepang. Akan tetapi, bersamaan pasukan Inggris terdapat Netherland Indies Civil Administration (NICA) bentukan Belanda yang berupaya menguasai kembali wilayah Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan bentrokan hebat pada tanggal 28-30 Oktober 1945 dan Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh. Inggris sangat marah. Tepatnya pada 9 Nopember 1945 mereka mengeluarkan peringatan terakhir agar semua warga Indonesia yang bersenjata api harus menyerahkannya kepada Inggris paling lambat pukul 18.00 tanggal pada hari itu juga (9 Nopember 1945). Inggris mengancam apabila hal itu tidak dipenuhi, maka Surabaya akan digempur baik dari darat, laut maupun udara.

Aryo Suryo sebagai perwakilan pemerintah RI di Jawa timur diberi kebebasan untuk melakukan kebijakan apa pun oleh pemerintah pusat di Jakarta. Setelah melakukan perundingan dengan pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), tepatnya pada pukul 23.00 malam tanggal 9 Nopember 1945, ia berpidato di depan corong radio menolak ancaman Inggris tersebut. Keesokan harinya, meletus pertempuran dahsyat antara arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggris. Peristiwa tersebut dikenal dengan Pertempuran Surabaya, dan tanggal terjadinya bentrok diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Selepas Pertempuran Surabaya, tahun 1947, Aryo Suryo diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Takdir merenggut nyawanya tatkala mengadakan perjalanan dinas di desa Bago, Kedunggalar (Ngawi) pada 10 September 1948. Ia dicegat dan dibunuh oleh gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tahun tersebut kondisi dalam negeri sedang terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dengan PKI berbasis di Madiun yang dikomando Muso dan Amir Syarifuddin. Jenazah Aryo Suryo ditemukan empat hari kemudian, dan dimakamkan di Magetan.