Beranda Pendidikan Cerita Rakyat Malin Kundang, Anak yang Durhaka pada Ibunya

Cerita Rakyat Malin Kundang, Anak yang Durhaka pada Ibunya

Batu Malin Kundang
Batu Malin Kundang

Malin adalah anak tunggal sepasang suami istri yang bekerja sebagai nelayan di Air Manis. Sewaktu Malin dalam kandungan, ayahnya pergi berlayar dan tidak pernah kembali lagi. Oleh karena itu, ia diasuh oleh ibunya seorang diri. lbu Malin menghidupi anaknya dengan mengumpulkan ikan yang dibuang orang karena tidak laku dijual. Selain itu, ia juga mengumpulkan ranting-ranting untuk dijual.

Malin sangat disayangi oleh ibunya. Ia tidak pernah dibiar­kan berrnain di tepi pantai. Ke mana pun ibunya pergi, Malin selalu ‘dikundang-kundang’ (dibawa ke mana saja). Oleh karena itu, Malin dinamakan orang Malin Kundang. Pada suatu hari, Malin berlari-lari di sekeliling ibunya yang sedang menjemur ikan. Tiba-tiba kakinya tersangkut pada jala ikan dan ia terjatuh. Kepalanya terluka dan bekas luka itu terlihat sampai ia dewasa.

Setelah dewasa, Malin meminta izin pada ibunya untuk merantau. Meskipun dengan berat hati, ibunya mengizinkannya pergi. Oleh ibunya, Malin dibekali tujuh bungkus nasi. Adapun maksud ibunya membekali Malin dengan tujuh bungkus nasi agar selama tujuh hari Malin tidak kelaparan.

Sejak ditinggalkan Malin, ibunya selalu memandang ke laut sambil bertanya-tanya dalam hati kapan anak kesayangannya itu kembali. Ia selalu berdoa agar Malin dapat kembali ke rumah dengan selamat. lbunya juga selalu bertanya-tanya kepada nakhoda kapal yang kebetulan singgah di Pantai Air Manis. Dari semua kapal yang singgah tidak satu pun yang tahu keberadaan Malin Kundang. lbunya sangat sedih. Bertahun-tahun ibu Malin menunggu kedatangan anaknya.

Kini dia telah tua. Tubuhnya juga telah bungkuk. Pada suatu hari ibu Malin mendapat kabar dari nakhoda kapal yang dahulu membawa Malin berlayar. Ia memberitahukan kepada ibu Malin bahwa Malin sudah menikah dengan putri bangsawan yang kaya raya. Ibu Malin sangat gembira mendengar berita itu. la terus berdoa agar Malin segera pulang dari perantauannya.

Pada suatu hari yang cerah terlihatlah sebuah kapal yang sangat bagus. Orang kampung di pantai itu menjadi gempar melihat kapal itu mendekat. Mereka semua menyangka bahwa kapal itu pastilah milik raja atau pangeran. Sewaktu kapal itu merapat, mereka melihat sepasang orang muda berdiri di anjungan. Keduanya mengenakan pakaian yang berkilauan. Wajah keduanya sangat bahagia karena disambut dengan meriah oleh orang kampung. Ibu Malin juga ikut berdesakan menyambut sepasang orang muda itu. Ia herusaha untuk mendekati kedua orang itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat anak muda yang dielu-elukan oleh orang kampung itu ternyata anaknya, Malin Kundang.

Ibu itu menghampiri anak muda tersebut dan memeluk erat tubuhnya. Sambil memeluk, tangannya meraba kening anak muda itu. Ia ingin memastikan bahwa anak muda itu adalah Malin Kundang, anaknya yang telah lama meninggalkannya. la merasa­kan ada bekas luka di kening anak muda itu. Sang semakin yakin bahwa anak muda itu adalah Malin Kundang. la semakin mempererat pelukannya.

Malin Kundang terpana karena dipeluk oleh wanita tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tidak percaya hahwa wanita itu adalah ibunya. Seingatnya, ibunya adalah seorang wanita berbadan kekar dan kuat menggendongnya ke mana saja. Sebelum Malin sempat berpikir lebih lama lagi, istrinya yang cantik itu menghampirinya seraya mengatakan bahwa Malin telah membohonginya. Ternyata Malin adalah anak seorang miskin dan mempunyai ibu yang tua renta itu.

Mendengar kata-kata istrinya itu, tanpa berpikir lagi Malin Kundang mendorong tubuh ibunya itu hingga terguling ke pasir. lbunya sangat terkejut atas perlakuan anaknya itu. la tidak menyangka anak kesayangannya itu akan berbuat sebegitu kasar terhadapnya. Ia berusaha bangkit dan berusaha kembali untuk meyakinkan Malin bahwa dirinya adalah ibu Malin. Malin Kundang tetap tidak mau mendengarkan kata-kata ibunya itu.

Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Bagaimanapun juga ia tidak akan mengakui bahwa wanita tua itu adalah ibunya. la malu kepada istrinya. Ibu Malin masih berusaha meyakinkan anaknya itu. la beringsut hendak memeluk kaki anaknya. Namun yang terjadi Malin justru menendang­nya. Akibat tendangan itu, ibu Malin terkapar di pasir. Orang kampung terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing.

lbu yang malang itu terbaring sendirian. Sewaktu mulai siuman, ia seperti terbangun dari mimpi. Ia melihat kapal Malin semakin menjauh. Hatinya sangat perih. Lalu, ia menadahkan tangannya ke langit. Ia berdoa kepada Tuhan agar Malin Kundang dijadikan batu. Tidak lama kemudian, datanglah badai besar. Ombak ber­gulung-gulung dan bunyinya sangat dahsyat. Badai itu berlang­sung sampai larut malam.

Penduduk pantai itu takut dan cemas. Baru pada pagi hari badai itu reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Seperti sumpah ibunya, Malin Kundang anak durhaka itu telah menjadi batu. Di sela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri. Menurut cerita, ikan itu berasal dari serpihan tubuh istri Malin Kundang yang terus mencari Malin Kundang. Oleh penduduk pantai itu dinamakan Pantai Air Manis. Pantai itu sekarang menjadi salah satu objek wisata di kota Padang.

Latar Belakang Cerita Rakyat Malin Kundang

Latar tempat cerita ini adalah Pantai Air Manis. Di pantai inilah Malin Kundang dan ibunya bertempat tinggal, sebagaimana terungkap dalam kutipan berikut.

Malin Kundang adalah anak tunggal suami istri nelayan Air Manis. Sebelum lahir , Malin ditinggal pergi ayahnya. (MK, hlm. 43)

Pantai Air Manis sebagai latar tempat cerita ini merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di Provinsi Sumatra Barat. Pantai Air Manis terletak di sebelah selatan kota Padang. Di pantai itu jika angin bertiup sepoi-sepoi, suara ombaknya ter­dengar lembut dan manis. Oleh karena itu, penduduk menamakan pantai itu Pantai Air Manis.

Pantainya begitu sangat indah. Oleh karena itu, banyak didatangi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Tidak jauh dari pantai itu terdapat sebuah pulau yang dinamakan Pulau Pisang Kecil. Di pulau itu terdapat banyak monyet. Monyet-monyet ini sangat bersahabat dengan pengunjung yang datang ke sana.

Di pantai itu jika ada badai besar, ombak besar bergulung­ gulung dari tengah lautan dan kemudian terhempas di pantai. Di pantai itu terdapat bukit yang menjorok ke laut. Kaki bukit itu terdiri atas batu-batu besar. Jika ombak besar menghantam batu­-batu itu, percikan airnya tinggi sekali. Percikan air itu menimbulkan bunyi seperti orang yang sedang melolong, memilukan hati orang yang mendengarnya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap yang menyesali diri.