Beranda Psikologi Kenapa Orang Jenius dan Berbakat Sering Merasa Tidak Bahagia?

Kenapa Orang Jenius dan Berbakat Sering Merasa Tidak Bahagia?

Merasa depresi
Merasa sedih dan depresi

Setiap orang pasti memiliki cita-cita khusus yang akan senantiasa mereka usahakan untuk mewujudkannya. Begitu pula, keinginan untuk selalu berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya merupakan naluriah dasar yang dimiliki semua manusia.

Namun seiring waktu berjalan, biasanya orang akan mengalami titik kejenuhan dan merasa tidak bahagia atau bahkan kecemasan yang tak menentu lantaran terus terdorong oleh rasa tidak puas dengan apa-apa yang diraihnya saat ini.

Nah ini dia bedanya, bagi mereka yang dianggap memiliki kecerdasan dan kreativitas rata-rata, secara alami akan memiliki pola pemikiran tentang diri sendiri yang relatif mudah untuk dipahami. Hal ini akan berguna dalam hal memperbaiki diri tanpa merasa terlalu terbebani oleh POTENSI yang mereka miliki.

Umumnya orang tidak akan menggunakan waktu 24 jam penuh hanya untuk terus-menerus memikirkan tentang dirinya. Manusia normalnya tidak akan memiliki gambaran pikiran atau kecerdasan guna merenungkan dalam level ekstrim terkait potensi yang dimilikinya melebihi waktu harian yang diluangkannya.

Namun berbeda bagi orang yang sangat berbakat atau jenius. Mereka akan terus terbayang-bayang dengan begitu banyak potensi pribadi yang dimilikinya. Keadaan ini akan membebani pemikiran mereka sendiri lantaran terus membayangkan semua hal yang tidak atau belum mereka capai dalam hidupnya.

Di satu sisi, mereka sadar sebenarnya dapat mencapai salah satu dari hal-hal yang mereka bayangkan lakukan tersebut. Tetapi dari sudut pemikiran lain, mereka juga tahu betul tidak mungkin mencapai semuanya. Menyerah untuk tidak mewujudkan ide-ide yang mereka miliki, dapat membuat orang yang berbakat terjebak. Melepaskan satu atau dua ide bagi orang jenius seolah-olah sudah menyerah pada ratusan ide lainnya.

Orang-orang jenius dan berbakat biasanya akan merasa kewalahan dengan potensinya, Sebagai akibat dan ironisnya, mereka justru tidak mencapai apapun sebanyak yang seharusnya mereka bisa karena terbebani oleh satu pemikiran tersebut. Jarak ekstrim antara potensi khayalan dan kehidupan nyata dapat menyebabkan efek psikologis seperti kecemasan, rasa malu, dan bahkan depresi.