Beranda Pendidikan Legenda Cerita Rakyat Asal-usul Nama Pulau Kemaro

Legenda Cerita Rakyat Asal-usul Nama Pulau Kemaro

Wihara di Pulau Kembaro
Wihara di Pulau Kemaro

Sejak dahulu kota Palembang telah menjadi kota perdagang­an. Banyak orang dari negeri lain yang datang ke Palembang, di antaranya tersebutlah seorang pedagang turunan bangsawan dari negeri Cina. Setelah beberapa lama berada di Palembang, pemuda itu bertemu dengan seorang gadis Palembang yang bernama Siti Fatimah, juga dari kalangan bangsawan. Fatimah adalah seorang gadis yang cantik jelita.

Pedagang dari negeri Cina itu tertarik kepada Fatimah dan kemudian melamarnya. Keluarga Fatimah setuju karena mereka mengetahui bahwa keduanya memang sudah saling mencintai. Sebelum menikah, Fatimah minta agar perkawinan mereka berlangsung terhormat dan disetujui oleh orang tua kedua belah pihak. Oleh karena itu, pemuda itu mengirim utusan ke negeri Cina.

Beberapa lama kemudian utusan itu kembali ke Palembang dengan membawa surat dari orang tua pemuda itu. Isi surat itu menyatakan bahwa orang tua pemuda itu merestui pernikahan itu dan memohon maaf karena tidak dapat datang ke Palembang.

Setelah mendapat persetujuan kedua belah pihak, berlang­sunglah pernikahan Fatimah dengan pemuda Cina itu. Mereka tinggal di Palembang serta hidup rukun dan damai. Kendati keduanya hidup rukun dan damai, sebagai istri yang baik, Fatimah selalu ingin agar dapat bertemu dengan mertuanya.

Suatu waktu keinginan itu dikemukakannya kepada suaminya. Sang suami senang dan bangga mendengar niat baik istrinya. Ia juga ingin menunjukkan kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya, bagaimana rasa bahagia dan beruntung dirinya mendapat seorang istri yang tinggi budi pekertinya. Oleh karena itu, melalui pedagang yang datang dari negeri Cina sang suami berpesan agar orang tuanya datang ke Palembang.

Beberapa lama kemudian, ketika pedagang itu datang lagi ke Palembang, disampaikannya surat dari orang tua pemuda itu. Dalam surat itu, kedua orang tua pemuda itu menyatakan bahwa pada saat ini mereka belum dapat datang ke Palembang. Sebagai tanda sayangnya kepada anak dan menantunya, orang tua itu akan mengirimkan satu guci emas. Fatimah merasa lega hatinya karena mertuanya telah menun­jukkan kasih sayangnya. Ia dan suaminya akan membagikan emas itu kepada keluarganya yang ada di Palembang.

Pada suatu hari, datanglah pedagang dari negeri Cina mengatakan kepada Fatimah dan suaminya bahwa mereka mem­bawa barang titipan untuk disampaikan. Karena kapal layar mereka sangat besar dan keadaan angin tidak mengizinkan, mereka terpaksa berlabuh di laut muara Sungai Musi. Mereka masuk ke Palembang menggunakan jongkong atau tongkang dengan galah dan dayung.

Suami Fatimah minta agar titipan itu dibawa ke Palembang. Sementara menanti beberapa hari lamanya, suami Fatimah bertanya-tanya dalam hatinya. Ia heran mengapa orang tuanya mengirimkan enam buah guci. Menurutnya tidak mungkin ke­ enam guci itu berisi emas. Keragu-raguannya itu disampaikan kepada Fatimah, tetapi Fatimah tidak mempersoalkan isi guci­ guci itu. Bagi Fatima kiriman barang berharga sudah cukup sebagai tanda mertua sayang kepadanya.

Saat yang dinantikan pun tiba, awak kapal dari muara telah tiba. Jongkong yang membawa enam guci berlabuh di tengah Sungai Musi. Mereka mengabarkan kepada keluarga Fatimah. Dengan menggunakan perahu, Fatimah dan suaminya datang ke jongkong yang ber­labuh di tengah sungai. Enam buah guci titipan terletak di lantai jongkong. Dengan hati bimbang dan ragu, sang suami mendekati guci, Fatimah ikut di belakang suaminya.

Dengan hati gelisah, suami Fatimah mengambil sepotong kayu. Ia memecahkan guci itu dengan kayu tersebut. Sayur pakasern yang bau tertumpah ke lantai jougkong. Kemudian, ia rnemecahkan guci kedua, ketiga. keernpat, dan kelima, Ia merasa sangat malu karena orang tuanya hanya mengirimkan sayur pakasern. Sambil berteriak suami Fatimah rnelemparkan kayu ke sungai dan ia berlari ke tepi jongkong.

Fatimah berusaha men­cegah, tetapi sudah terlambat. Suammya terjun ke sungai. Fatimah sadar apa yang dirasakan suaminya. la tahu, bahwa suaminya merasa sangat malu sebab sayur pakasem tidak ada artinya bagi keluarganya di Palembang. Sementara itu, emas yang dijanjikan tidak ada.

Karena ingin mencegah suaminya, Fatimah berlari ke tepi jongkong. Pada langkah pertama, kakinya tidak sengaja menye­pak guci keenam Guci itu pun pecah. Ternyata, guci itu penuh berisi emas batangan. Emas itu berserakan di iantai jongkong. Fatimah menoleh sebentar, tetapi tidak menghiraukannya. la sadar apa yang dirasakan suaminya Ia tidak ingin jika suaminya tenggelam hanya karena khawatir merasa malu.

Ia sangat mencintai dan menyayangi suaminya itu. la pun terjun ke sungai menyusul suaminya. Keduanya pun tenggelam. Bersamaan dengan itu, jong­kong miring ke kanan dan ke kiri diayun ombak. Akhirnya, jongkong itu pun tenggelam. Setelah jongkong itu tenggelam, muncullah tanah yang kemudian dikenal dengan nama Pulau Kemaro.

Latar Cerita Rakyat Asal-usul Nama Pulau Kemaro

Latar cerita “Legenda Asal Usu! Nama Pulau Kemaro” adalah di Sungai Musi, Palembang. Latar tempat cerita itu mencerminkan salah satu objek wisata di Sumatra Selatan, yaitu Pulau Kemaro. Pulau Kemaro adalah pulau kecil yang terdapat di tengah Sungai Musi. Di pulau ini berdiri sebuah wihara yang banyak dikunjungi orang, terutama oleh masyarakat Cina.