Beranda Dunia Menikah Bukan Karena Cinta, Kisah Hidup Chaca dan Christiana

Menikah Bukan Karena Cinta, Kisah Hidup Chaca dan Christiana

Wanita dan wanita menikah
Wanita menikah dengan wanita

“Saya dulu pernah menikah dengan laki-laki,” kata Chaha, seorang anggota suku Kuria yang tinggal di desa Kitawasi, Tanzania, dekat perbatasan Kenya. “Saya memilih tinggal bersama wanita ini, untuk saling bantu membantu.”

Dia menikah dengan Christina Wambura, seorang janda berusia 64 tahun lima tahun lalu, di bawah tradisi Kuria nyumba ntobhu, atau “rumah wanita.” Praktek ini memungkinkan seorang wanita yang lebih tua tanpa keturunan laki-laki untuk menikahi wanita yang lebih muda, memiliki atau akan sedang memiliki anak laki-laki. Memastikan warisannya tidak hilang dan juga memberikan wanita tersebut sesuatu yang lain: yaitu keamanan.

Banyak Wanita Memiliki Pengalaman Buruk dalam Pernikahannya

Lebih dari 78% wanita di wilayah Mara, di mana suku Kuria adalah mayoritas populasi, pernah dilecehkan secara fisik, seksual atau psikologis oleh suaminya, menurut data pemerintah. Angka itu merupakan tingkat kekerasan dalam rumah tangga tertinggi di seluruh Tanzania. Karena banyaknya kasus demikian terutama yang dialami oleh wanita suku Kuria, nyumba ntobhu kemudian menjadi solusi.

Pernikahan semacam itu menjadi semakin populer di kalangan suku Kuria. Di distrik Tarime saja, tempat Chaha dan Wambura berasal, pernikahan wanita ini sekarang mewakili lebih dari 20% rumah tangga, menurut Pusat LSM setempat untuk Bantuan Janda dan Anak.

Hukuman Keras terhadap Pelaku LGBT

Meskipun tidak ada istilah keromantisan (secara seksual), hubungan tersebut sangat kontras dengan bagaimana peraturan hukum Tanzania memperlakukan pasangan sesama jenis. Homoseksualitas adalah ilegal di Tanzania, dan wanita yang saling mencintai tidak dapat menunjukkannya terang-terangan di depan umum.

Anggota komunitas LGBTQ menjadi semakin terpuruk. Beberapa di bagian lain negara itu mengatakan mereka mengaku sangat takut jika ketahuan dan dihukum mati karena tindakan keras yang diatur oleh gubernur yang kontroversial di wilayah itu.

Chaha dan Wambura Mengaku Lebih Bahagia

Di dalam rumah mereka yang sederhana, Chaha dan Wambura telah menciptakan sebuah oasis. Potongan kain berwarna-warni disusun membentuk pelangi di bawah langit-langit rumahnya. Lingkaran kain berwarna oranye, ungu dan kuning menempel di dinding. Salah satu anaknya nampak keluar masuk dari pintu, menantikan duduk bersama Wambura saat makan siang sudah siap.

Kain pelangi
Potongan kain warna-warni disusun membentuk pelangi

“Hidup di sini jauh lebih baik. Tidak ada yang memukuliku. Tidak ada yang berkelahi denganku. Ini adalah sebuah ikatan yang bertujuan dalam mencari penghidupan bersama demi anak-anak dan kami sendiri” kata Chaha, saat duduk di luar rumahnya menikmati sinar matahari sore.

Mantan Suami yang Jahat

Chaha mengatakan dia merasa tidak tenang dan terancam oleh suaminya dulu, yang dinikahinya pada usia 15 tahun. Dia menginginkan lingkungan yang lebih aman untuk putranya, jadi dia memutuskan bercerai dan meninggalkannya.

Chaha kembali ke rumah orang tuanya, tetapi dia masih harus membayar mas kawin yang dia berikan kepada keluarga si mantan suami, berupa sembilan ekor sapi. Setiap sapi bernilai sekitar 500.000 shilling Tanzania (sekitar Rp3 jutaan).

Saat itu Wambura mendatangi Chaha, dia menawarkan untuk menutupi seluruh biaya mas kawinnya yang belum sanggup ia bayar.

“Christina datang dan bertanya pada ayahku apakah aku bisa tinggal bersamanya,” Chaha menjelaskan. “Mas kawin yang dia berikan pada ayahku digunakan untuk mengembalikan mas kawin milik mantan suamiku. Jadi, aku sekarang adalah keluarganya secara resmi.”

Wambura mengatakan dia juga pernah mengalami pernikahan pertama yang buruk. Dia menikah ketika berusia 11 tahun dan tinggal di daerah pinggiran Kitawasi dengan suaminya. Setelah putranya meninggal saat lahir, dia divonis tidak bisa hamil lagi.

“Itu adalah awal dari percekcokan kami,” kata Wambura. “Dia selalu memaki dan mengancam mengusir saya keluar dari rumahnya dengan mengatakan, ‘kamu mandul, tinggalkan rumahku, kamu mandul, tinggalkan rumahku.’. Kemudian inilah yang terjadi, dia benar-benar mengusirku dari rumahnya, kata Wambura.

Wambura menghabiskan 11 tahun di Mwanza, sebuah kota kecil di tepi Danau Victoria, bekerja di pabrik ikan dan sebagai pembantu rumah tangga. Kemudian dia kembali ke Kitawasi.

Adik Wambura membelikannya sebidang tanah kecil tempat ia sekarang tinggal bersama Chaha. Dia juga membantu membeli sapi untuk membayar mahar Chaha.

Wambura mengatakan hidupnya telah membaik semenjak Chaha menjadi bagian dari hidupnya. “Manfaatnya adalah memiliki teman,” katanya. Dia sudah cukup senang mendapatkan kesempatan lain sebagai seorang ibu.

Mendidik Anak dengan Penuh Kasih Sayang

Memilah-milah ikan kering berwarna perak dengan memangku putra bungsunya, Wambura mengajarinya dengan suara lembut dan penuh kasih bagaimana menyingkirkan ikan-ikan yang telah membusuk atau tidak layak dikonsumsi. Wanita ceria itu mengajarkan putranya dengan penuh kasih dan sayang mendalam.

Mendidik anak

“Sekarang, kami punya dua anak di sekolah,” katanya bangga.

Chaha telah melahirkan tiga anak laki-laki sejak dia pindah dan tinggal dengan Wambura. Dalam aturannya, hubungan semacam itu berarti membebaskan ia memilih pasangan seksualnya sendiri, tanpa ikatan apa pun.

“Setelah hamil, aku meninggalkan lelaki itu,” Chaha menjelaskan. “Begitu bayi berhenti menyusui, aku pergi dan mencari bayi lain.”

Chaha mengatakan dia lebih bahagia dengan aturan seperti itu: “Saya tidak punya pria. Saya hidup bebas.”

Kritikan dari LSM dan Akademisi

Terlepas dari solusi yang diberikan, nyumba ntobhu telah mendapat banyak kritik dari sejumlah LSM dan akademisi karena mereplikasi beberapa aspek negatif yang sama dari kehidupan kesukuan. Perempuan dalam suku Kuria, komunitas yang sangat patriarkal, juga menghadapi ancaman lain seperti mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) dan poligami.

“(Dalam aturannya) tak diperbolehkan wanita (lebih muda) yang menikahi wanita sesamanya hak untuk mendapat warisan, membuatnya tidak berguna kemudian hari,” kata pengacara Emmanuel Clevers dari Pusat Bantuan Janda dan Anak-anak di wilayah Mara.

Seperti di banyak masyarakat lain di Afrika sub-Sahara dan sekitarnya, wanita tidak diizinkan memiliki atau mewarisi properti apa pun di suku Kuria.

Menurut hukum Tanzania, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk memiliki properti, tetapi itu tidak berarti diterapkan oleh masyarakat pedesaan yang masih banyak dipengaruhi oleh tradisi berusia berabad-abad. Hanya 20% perempuan Tanzania yang memiliki tanah atas namanya sendiri, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB dan Thomson Reuters Foundation.

Clevers juga mengkritisi terkait fakta bahwa anak-anak adalah milik wanita yang lebih tua dalam perkawinan tersebut. Hal ini berarti melepaskan hak kepemilikinan anak dari ibu biologisnya sendiri.

Meski begitu, baik Chaha dan Wambura mengatakan itu lebih baik daripada alternatifnya.

“Sekarang saya merasa damai,” kata Wambura. “Tidak ada yang menghinaku, mengata-ngataiku seperti sapi dan sapi mandul lebih baik mati.”

“Tidak ada lagi pemukulan. Tidak ada penghinaan,” tambahnya.

Sumber: CNN