Beranda Sejarah Kupas Tuntas Sejarah Rahasia Tersembunyi Angka 666

Kupas Tuntas Sejarah Rahasia Tersembunyi Angka 666

Rahasia angka 666
Rahasia angka 666

Banyak orang merasa aneh jika mengetahui atau melihat peristiwa yang mengandung unsur angka 666. Dipercaya bahwa 666 adalah “angka terkutuk” yang sudah terkenal di seantero dunia, diduga sebagai kode rahasia setan yang berkonotasi kejahatan.

Dalam buku apokaliptik Alkitab dari Wahyu 3:18, tertulis, “Ini adalah hikmat. Biarkan dia yang memiliki pemahaman menghitung jumlah keburukan, karena jumlahnya adalah dari manusia; dan jumlah tersebut adalah 666.”

Dalam keterangan di Alkitab, sepertinya 666 adalah angka yang dianggap sebagai angka keberuntungan Lucifer. Tetapi jika kita menggali lebih jauh ke dalam Alkitab dan konteks historisnya, ada bukti bahwa penulis kitab Wahyu pada masa itu menggunakan angka tersebut untuk mengirimkan pesan kode kepada para pembaca Kristen di era awal.

Ketika Suatu Kalimat Juga Mengandung Angka

“The beast” atau buruk rupa seperti disebutkan merujuk pada makhluk tampak jahat yang dilihat oleh penulis Kitab Wahyu muncul dari bumi dalam sebuah penglihatan (Revelation 13:11-18). Makhluk ini dapat melakukan hal-hal ajaib, akan menuntut agar setiap orang “ditandai” dengan nama atau nomornya untuk membeli dan menjual apa pun.

Makhluk ini juga akan membunuh mereka yang tidak menyembahnya. Jadi siapa sebenarnya makhluk tersebut? Selama berabad-abad, orang-orang bertanya-tanya apakah makhluk jahat ini merujuk kepada seseorang yang telah datang dan pergi, belum datang atau tidak menyangkut kepada orang tertentu.

Kitab Wahyu awalnya ditulis dalam bahasa Yunani, bahasa dunia Kristen pada abad pertama dan kedua C.E. Tidak ada angka dalam bahasa Yunani, setidaknya bukan angka-angka yang wujudnya seperti kita kenal hari ini. Sebaliknya, setiap huruf alfabet Yunani (dan Ibrani) memiliki nilai numerik. Sebagai contoh:

  • alpha = 1
  • beta = 2
  • pi = 80
  • psi = 700

Bagi orang Kristen berbahasa Yunani yang membaca Wahyu, mereka akan merasa nyaman dan terbiasa saja dalam membaca huruf sebagai angka. Begitulah angka ditampilkan di surat atau dalam dokumen hukum. Begitu pula sebaliknya, mereka juga merasa biasa saja manakala mengubah angka menjadi huruf berkat praktik yang disebut isopsis atau isopsephy.

Permainan Kata-kata dengan Angka

Isopsephy, dalam bahasa Yunani, berarti “sama dalam nilai numerik,” merupakan cara yang populer untuk bermain dengan kata-kata pada abad pertama. Caranya adalah dengan menambahkan nilai numerik dari satu kata dan kemudian menemukan kata atau frasa kedua yang ditambahkan ke nomor yang sama. Kata-kata yang secara numerik sama dianggap memiliki koneksi khusus.

Salah satu isopsis abad pertama yang paling terkenal dirujuk oleh sejarawan Romawi Seutonius. “A calculation new: Nero his mother slew“. Dalam hal ini, nama kaisar “Nero” sama dengan 1.005, nilai yang sama dari frasa “pembunuhan ibunya”. Bagi orang-orang Romawi yang curiga bahwa kaisar yang kejam tersebut telah membunuh ibunya, maka isopsi ini adalah buktinya.

Arkeolog bahkan juga telah menemukan grafiti Romawi kuno yang menggantikan angka dengan nama, kata Thomas Wayment, seorang profesor klasik di Universitas Brigham Young.

“Ada grafiti di Smyrna dan Pompeii yang mengatakan, ‘Aku mencintainya yang jumlahnya 1.308,'” kata Wayment. “Hal semacam itu sebenarnya sudah biasa. Dan harapannya agar semua orang melakukan perhitungan dengan benar dan dapat membuat koneksi.”

Angka ‘666’ adalah Pesan Rahasia

Wayment dan sebagian besar cendekiawan Alkitab lainnya tidak ragu untuk mengatakan bahwa pengarang Wahyu sebenarnya sengaja menjadikan angka 666 sebagai isopsephy yang harus dipecahkan oleh pembaca Alkitab abad pertama.

“Penulis mengatakan, ini adalah jumlah seorang pria, yang merupakan formula isopsephy klasik,” kata Wayment, yang baru-baru ini menulis sebuah artikel tentang Wahyu 13:18 dan isopsephies Kristen awal. “Orang-orang Kristen akan segera tahu, ini sebenarnya adalah pesan kode rahasia.”

Seperti kita tahu, isi dalam Wahyu sering tidak dijabarkan secara gamblang dan terkesan disamarkan, bahkan untuk pendengar aslinya sekalipun. Wayment mengatakan bahwa dalam tulisan apokaliptik, seorang malaikat atau utusan surgawi lainnya sering mengungkapkan maknanya melalui ucapan kode.

“Sebagai seorang pembaca, Anda melihat sesuatu melalui mata visioner dan dia memberi tahu Anda, ‘Anda perlu memahami hal ini,'” kata Wayment. “Itu bagian dari pengalaman dan partisipasi Anda dalam visi.”

Menurut sebagian besar sarjana, 666 adalah referensi kode lain untuk Nero, seorang kaisar “kejam” yang secara brutal menganiaya orang-orang Kristen awal di Kekaisaran Romawi.

Untuk menyelesaikan isopsephy dan menyamakan Nero ke 666, kita harus menggunakan nama lengkap “Caesar Nero” dalam bahasa Yunani. Jika Caesar Nero ditransliterasikan ke dalam bahasa Ibrani maka akan menjadi nrwn qsr atau “Neron Kesar”. Setelah itu kita kalkulasikan dan akan ditemukan angka 666.

Menariknya, beberapa manuskrip awal Kitab Wahyu memiliki angka yang dituliskan sebagai 616 bukannya 666. Penjelasan paling umum adalah bahwa dalam hal ini “Caesar Nero ” ditulis berbeda dalam bahasa Yunani dan Latin, bahasa lain yang digunakan oleh orang Kristen awal. Dalam versi Latin, kalimatnya hanya mampu menambahkan hingga 616.

Ketidaksempurnaan Setan yang Sempurna

Tidak semua sarjana Alkitab yakin bahwa 666 hanyalah isopsi. James M. Hamilton, seorang profesor teologi biblika di Seminari Teologi Baptis Selatan dan penulis “Revelation: The Spirit Speaks to the Churches” melihat simbolisme yang kuat dalam pengulangan angka 6.

Dalam simbolisme alkitabiah, Hamilton mengatakan, angka tujuh mewakili “kelengkapan” atau “kesempurnaan”. Kelangkapan sejati hanya dicapai oleh Yesus Kristus, yang menyelamatkan dunia melalui pengorbanannya yang sempurna. Jika Yesus memiliki angka simbolis, maka hasilnya akan menjadi 777.

Dengan merujukkan 666 ke “angka terkutuk”, berarti penulis Wahyu memperingatkan orang-orang Kristen agar berhati-hati dengan Setan yang “meniru-niru Kristus” kata Hamilton. “Itu yang bisa dilakukan Setan, salah satu dari kesempurnaan.”

Bagi Hamilton, “Kristus-Kristus palsu” yang dibangkitkan oleh Setan dapat mengambil bentuk seorang kaisar yang korup seperti Nero atau bahkan norma-norma budaya modern yang memberontak terhadap Allah.

“Jika berpartisipasi dalam budaya itu berarti menyembah dewa-dewa palsu atau menyangkal sesuatu yang Alkitab ajarkan, orang-orang Kristen perlu mengatakan, ‘Saya tidak akan mengambil nomor atau mengikuti nama terkutuk itu,'” kata Hamilton.