Beranda Dunia Islam Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia: Jawa, Sumatera dan Sulawesi

Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia: Jawa, Sumatera dan Sulawesi

Sejarah Islam di Indonesia
Anak-anak jaman dahulu sedang belajar mengaji (Foto: Wikipedia)

Tahukah Anda sejarah kebudayaan Islam? Sejarah kebudayaan Islam bukan semata budaya muslim atau orang Islam, semenjak lahirnya Agama ini pada abad ke-7 Masehi. Orang Islam mengakui bahwa, perjalanan kerasulan para Nabi dan Rasul utama yang berjumlah 25, membawa risalah langsung dari Tuhan, adalah permulaan dari Budaya Islam sendiri. Kebijaksanaan dan ceceran hikmah dari para Nabi sebelum Muhammad SAW, selalu menjadi rujukan dan kajian para muslim, setelah AlQuran dan Hadist Rasulullah SAW.

Dimasukkannya dalah fiqih sebagai khabar, artinya kebijaksanaan lampau, di mana Rasulullah pun sering bercerita tentang para Nabi terdahulu, tentang kaum yang terdahulu. Artinya Rasulullah SAW, menyadari arti penting dari sejarah masa lalu. Kecuali tentu saja masalah Agama. Karena masalah Agama telah mutlak sebagaimana khotbah Rasulullah pada saat Haji Penutupan.

Tentang budaya menyunat laki-laki, tentang budaya mahar dalam pernikahan, tentang budaya mengunjungi kubur, tentang budaya memakai teknologi yang bermanfaat, mendapatkan pengakuan dari Rasulullah.

Ketika diungkapkannya, bahwa manusia lebih paham urusan dunianya sendiri. Dari pembolehan itu, Islam tanpa ampun merangsek ke segala lini pengetahuan. Mengalami asimilasi dengan banyak suku dan masyarakat kultus. Diterima dengan baik oleh manusia dalam pelbagai derajatnya. Sehingga budaya dalam Islam menjadi tidak tunggal. Beragam menyesuaikan diri dengan tanah air masing-masing. Memperkaya peradaban Islam, menegaskan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam.

Sejarah Budaya Islam di Indonesia

Sebelum datangnya Islam. Masyarakat Indonesia sudah ada yang memeluk agama Hindu, Buddha, dan penganut kepercayaan adat lokal lainnya. Para ulama berpendapat bahwa agar dapat diterima oleh masyarakat setempat, Islam haruslah menyesuaikannya dengan budaya lokal atau keyakinan yang telah dianut tanpa menyimpang dari ajaran agama Islam.

Setelah itu, akan terjadi proses pencampuran budaya atau akulturasi. Proses akulturasi ini tentu selanjutnya akan menghasilkan budaya baru, yakni gabungan antara budaya lokal dan budaya Islam. Setiap daerah di Indonesia pasti memiliki tradisi yang berbeda-beda. Oleh sebab itulah, proses akulturasi antara budaya Islam dan budaya lokal di setiap daerah pun memiliki perbedaan.

1. Budaya Islam di Sumatera

Budaya yang telah tertanam di Sumatera yaitu budaya Melayu berbentuk kesusastraan. Penggabungan antara kedua budaya tersebut telah melahirkan keusastraan Islam. Selain sebagai pendidik agama, para ulama pun dikenal sebagai sastrawan seperti misalnya Abdurrauf dari Singkil, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar Raniri, dan Syamsudin dari Pasai. Para ulama tersebut sering menulis sastra Melayu dengan corak tasawwuf.

Karya-karya besar di masa ini di antaranya yaitu Bustan Al-Salatin (Nurudin Al-Raniri), Nur Al-Daqaiq (Syamsudin), serta Syarab Al-Asyiqin dan Asrar Al-Arifin (Hamzah Fansuri). Selain itu, karya-karya lainnya yaitu Hikayat Aceh, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Iskandar Dzulqarnain. Sebagian karya ini berbentuk prosa. Sementara itu, bentuk karya sastra Melayu yang lain yaitu pantun serta syair.

2. Budaya Islam di Jawa

Sebelum datangnya Islam ke Jawa, di sana terdapat budaya Jawa Kuno hasil dari akulturasi dengan budaya India yang masuk bersamaan dengan Hindu dan Budha. Jika dibanding dengan budaya Melayu, pengaruh budaya Islam pada budaya Jawa bisa dikatakan lebih kecil. Hal itu terlihat dari pemakaian huruf Arab yang lebih sedikit daripada pemakaian huruf Jawa. Kedua bentuk puisi pun lebih dominan dipakai daripada prosa.

Salah satu budaya Jawa hasil dari akulturasi dengan budaya India adalah wayang. Kisah-kisah pewayangan Jaw bersumber dari kitab Ramayana serta Bharatayudha. Lalu, sesudah terjadi akulturasi dengan ajaran Islam, tokoh-tokoh serta kisah pewayangan diganti dengan kisah bernuansa Islami. Sama halnya dengan wayang golek di wilayah Sunda. Kisah-kisahnya adalah ubahan dari kisah-kisah Islam seperti misalnya tentang Amir Hamzah (Hamzah merupakan paman dari Nabi Muhammad saw).

3. Budaya Islam di Sulawesi

Walaupun penduduk Sulawesi dan sekitarnya baru memeluk agama Islam pada abad ke-17, mereka telah memiliki keteguhan kepada ajaran agama Islam. Karya kebudayaan mereka yang sifatnya bernuansa Islam banyak berbentuk karya sastra terjemahan dari karya Melayu dan karya berbahasa Arab seperti karya Nuruddin Al-Raniri. Selain itu, karya lainnya yang juga asli yaitu La Galigo (syair kepahlawanan raja Makassar).

Ada pula kesenian lain selain kesenian di atas, yaitu bentuk kesenian visual atau seni rupa seperti seni murni, seni kerajinan, ornamen (hiasan), dan seni terapan. Ornamen terlihat pada senjata, wadah, buku, dan juga pakaian. Sementara itu, bentuk hiasan pada ornamen bersumber dari bentuk fauna, flora, serta grafis, yang meniru gaya hiasan Arab. Sementara itu, bentuk ornamen pada pakaian diaplikasikan lewat teknik sulam, batik, dan juga bordir.

Sejarah Budaya Islam Nusantara – Apresiasi bagi Tradisi dan Upacara Adat Kesukuan Nusantara
Setiap wilayah di Nusantara yang dimasuki Islam telag memiliki tradisi masing-masing. Ada tradisi yang terpengaruh oleh Hindu dan Budha. Ada juga tradisi asli yang telah dilakukan secara turun-temurun. Sama halnya seperti di daerah Sumatera, di wilayah lain, para ulama pun memilih mempertahankannya, tetapi memberikan nuansa Islami.

Nah, berikut ini adalah contoh-contoh adaptasi kesukuan di Indonesia yang bernuansa Islami.

1. Tahlilan

Tahlilan merupakan sebuah upacara selamatan atau kenduri dalam rangka berdoa kepada Allah Swt dengan membacakan Surat Yasin serta sura-surat pilihan lainnya. Setelah itu, dilanjutkan dengan kalimat-kalimat tahlil, tahmid, dan tasbih. Upacara ini diadakan biasanya sebagai rasa syukur kepada Allah Swt sekaligus juga mendoakan seseorang yang sudah meninggal dunia pada hari ke-3, 7, 40, 100, 1.000, serta khaul (tahunan).

Tradisi ini bersumber dari kebiasaan orang-orang penganut Hindu dan Budha, yakni kenduri, sesaji, dan juga selamatan. Dalam ajaran agama Islam, tradisi seperti ini tak bisa dibenarkan, sebab mengandung unsur kemusyrikan. Di dalam acara tahlilan, sesajinya diganti dengan berkat atau nasi serta lauk pauk yang dibawa pulang oleh para peserta tahlilan.

Ulama yang mengubah tradisi tersebut pada waktu itu yaitu Sunan Kalijaga dengan tujuan supaya orang-orang yang baru memeluk Islam tak terkejut sebab harus meninggalkan tradidinya dan kembali ke agamanya.

2. Sekaten

Serkaten merupakan upacara dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad saw yang dilakukan di lingkungan Keraton Yogyakarta atau Maulud. Selain berkaitan dengan Maulud, upacara ini pun diadakan pada bulan besar (Dzulhijjah). Pada acara ini, gamelan sekati diarak dari keraton menuju halaman masjid agung Yogyakarta dan juga dibunyikan siang malam sejak satu minggu sebelum tanggal 12 Rabiul Awwal. Tradisi Sekaten ini diprakarsai oleh Sunan Bonang. Syair lagu berisi pesan tauhid serta di setiap bait disisipkan ucapan syahadatain atau dua kalimat syahadat, lalu menjadi Sekaten.

3. Grebeg Maulud

Grebek Maulud adalah puncak dari peringatan Maulud. Pada malam 1 Rabiul Awwal, Sri Sultan dan para pembesar Kraton Yogya hadir di masjid agung. Di sana, diadakan pemacaan-pembacaan riwayat Nabi dan dilanjutkan dengan ceramah.

4. Muludan

Muludan adalah peringatan hari kelahiran Rasulullah saw. Muludan ini diprakarsai oleh Sultan Muhammad Al-Fatih dengan tujuan membangkitkan semangat pasukan muslim pada saat perang Salib. Sebenarnya, peringatan ini tak diperintahkan oelh Rasulullah saw, tetapi hanya merupakan budaya agama.

Di Indonesia, peringatan Muludan ini diselenggarakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari presiden hingga orang desa. Perayaan ini diisi dengan pembacaaan riwayat Nabi atau Barzanji dan berbagai kegiatan lain, misalnya perlombaan.

Itulah ulasan tentang sejarah budaya Islam di Indonesia. Semoga bermanfaat!