Beranda Pengetahuan Kenapa Dolar Jadi Patokan Mata Uang Dunia? Ternyata Ini Sejarahnya

Kenapa Dolar Jadi Patokan Mata Uang Dunia? Ternyata Ini Sejarahnya

Tumpukan uang dolar
Tumpukan uang dolar

Per Januari 2020, Jepang dan China masing-masing memiliki simpanan lebih dari $1 triliun dalam bentuk sekuritas Treasury AS diikuti oleh Inggris ($372 miliar) dan Brasil ($283 miliar). Menurut Dana Moneter Internasional, lebih dari 61 persen cadangan kas dunia disimpan dalam dolar. Euro berada di posisi kedua dengan nilai prosentase 20 persen.

Ketika bahkan negara adidaya dalam hal ekonomi seperti China menyimpan satu triliun dolar AS dalam bank cadangan (reverse), hal ini menandakan bahwa dolar masih dianggap “paling kuat” dari mata uang global.

Namun demikian, dolar tidak selalu merupakan mata uang de facto dunia. Jadi, apa sebenarnya yang berubah?

Sedikit Sejarah tentang Mata Uang

Sebelum Perang Dunia II, semua mata uang global hanya didukung oleh emas dan setiap pemerintah menjamin bahwa uangnya setara untuk sejumlah emas tertentu. Kemudian muncul perjanjian Bretton Woods tahun 1944, yang menciptakan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, termasuk juga menetapkan dolar AS sebagai emas baru. (Hal ini lantaran A.S. memegang sebagian besar pasokan emas dunia.)

Dolar terus mendominasi selama tahun-tahun pasca-Perang Dunia II. Jonathan David Kirshner, seorang profesor ilmu politik dan studi internasional di Boston College, mengatakan bahwa bangkitnya “tatanan dolar” dibangun di atas empat pilar: kekokohan ekonomi AS, kepercayaan luas pada model keuangan Amerika, kekayaan lembaga keuangan AS dan peran utama Amerika dalam urusan internasional.

“Sebagian besar hubungan moneter dunia diatur antara AS dan sekutu politiknya serta ketergantungan militernya,” kata Kirshner, yang ikut menulis buku tentang “The Future of the Dollar“.

Kemudian skema nilai tukar tetap Bretton Woods runtuh pada 1970-an, ketika Richard Nixon mengambil dolar dari standar emas selama periode inflasi domestik, dan banyak negara industri memilih untuk “mengapungkan” mata uang mereka di pasar terbuka. Saat itu, beberapa ekonom mulai memprediksi jatuhnya dolar. Bukan berarti ia akan kehilangan nilainya, tetapi hanya akan kehilangan dominasinya sebagai mata uang de facto dunia.

“Jika Bukan Dolar, Lalu Apa?”

Selama beberapa dekade, sebagian besar “pilar” yang menjadikan dolar sebagai raja ekonomi pascaperang telah jatuh, kata Kirshner. Resesi, gelembung pasar saham dan krisis keuangan global telah mengungkapkan celah dalam model keuangan Amerika, dan AS pun telah kehilangan sebagian dari dominasi politiknya, dengan banyak pemerintah maupun perusahaan memilih untuk melakukan bisnis dengan China atau Eropa sebagai gantinya.

Namun angka-angka menunjukkan bahwa dolar masih menjadi mata uang yang dipilih oleh negara maupun individu sebagai “pelabuhan aman” di saat badai ekonomi sedang terjadi. Tapi kenapa?

“Alasan utamanya adalah sederhana,” kata Kirshner, “kurangnya alternatif yang masuk akal. Jika bukan dolar, lalu apa?”

Ada seruan berkala untuk mengalihkan kepemilikan cadangan lebih banyak ke euro, RMB Cina atau bahkan kembali ke emas, tetapi dolar masih tetap berkuasa. Ketika negara-negara berbelanja untuk mata uang cadangan yang stabil, aman dan likuid (mudah untuk dikonversi kembali ke uang lokal), nyatanya dolar masih merupakan standar. Bahkan, beberapa negara seperti Panama dan El Salvador menggunakan dolar AS sebagai alat pembayaran yang sah. Jadi pemerintah A.S. tidak harus memberikan persetujuan bagi negara lain untuk menggunakan dolar sebagai mata uang resmi.

Lantas Bagaimana dengan Satu Mata Uang Dunia?

“Tidak akan terjadi”, kata Kirshner.

Alasan pertama adalah soal politis. Tidak ada kemauan politik untuk memiliki satu pemerintahan dunia atau satu mata uang dunia.

Alasan kedua kita tidak akan melihat “Earth dollar” (atau seluruh dunia menggunakan dolar AS untuk mata uang resmi mereka) dalam waktu dekat berkaitan dengan teori ekonomi yang disebut “area mata uang optimal” yang menyatakan bahwa hanya satu mata uang tunggal beroperasi secara efisien di area geografis yang relatif kecil – ukuran negara, misalnya, bukan benua.

Hal itu karena daerah yang berbeda mungkin saja akan mengalami kondisi ekonomi yang sangat berbeda secara bersamaan. Satu negara mungkin dalam resesi, misalnya, sementara yang lain sedang booming.

“Jika Anda hanya memiliki satu mata uang di seluruh dunia, itu berarti Anda hanya memiliki satu otoritas moneter, yang berarti kita hanya memiliki satu kebijakan moneter,” kata Kirshner.

Itulah salah satu alasan mengapa euro belum mampu menggantikan dolar sebagai mata uang global. Zona euro sendiri bukan area mata uang yang optimal, kata Kirschner, yang berarti bahwa otoritas Uni Eropa harus memberlakukan kebijakan moneter yang entah bagaimana melayani ekonomi dalam kondisi keuangan yang sangat berbeda, seperti Jerman dan Yunani. Peristiwa seperti eurozone debt crisis atau krisis utang zona euro semakin mengikis kepercayaan terhadap euro sebagai mata uang default berikutnya.