Beranda Unik ‘Perang Dunia II Belum Berakhir’, Kisah Prajurit yang Tidak Mau Menyerah

‘Perang Dunia II Belum Berakhir’, Kisah Prajurit yang Tidak Mau Menyerah

Perang Dunia II
Prajurit tengah bertempur dalam Perang Dunia II / Foto: Nationalinterest.org

Perang Dunia II telah berakhir pada 1945. Bagi sebagian besar prajurit yang sudah lelah di seluruh dunia, sudah waktunya untuk pulang dan menjalani kehidupan dengan tenang.

Tetapi nyatanya tidak semua prajurit yang terjun di medan pertempuran percaya bahwa perang sudah benar-benar berakhir.

Pada tahun 1944, Letnan Onada dikirim oleh tentara Jepang ke sebuah pulau terpencil di Filipina. Dia dan anak buahnya akan melakukan perang gerilya di sana. “Mungkin butuh tiga tahun,” kata komandannya. “Mungkin juga bisa sampai lima tahun, tapi apa pun yang terjadi, kami akan kembali untukmu. Sampai hanya tersisa satu prajurit sekalipun, kamu tetap harus terus memimpinnya. “

Letnan muda itu terus mengingat kata-kata yang diucapkan komandannya.
Begitu sampai di pulau tujuan, Onada dan anak buahnya seharusnya sudah meledakkan dermaga di pelabuhan. Selanjutnya, mereka diperintahkan untuk menghancurkan lapangan terbang. Tetapi Sekutu menyerbu pulau itu sebelum Jepang dapat menyelesaikan misinya.

Membagi menjadi kelompok tiga atau empat begitu, Onada dan anak buahnya mundur ke pedalaman pulau. Persediaan makanan mereka sangat sedikit, amunisi terbatas, dan hanya satu pakaian prajurit yang mereka kenakan.

Waktu terus berlalu. Kelompok-kelompok itu menggunakan taktik gerilya untuk bertarung dalam pertempuran kecil. Banyak prajurit dalam kelompok lain terbunuh, tetapi Letnan Onada dan ketiga anak buahnya selamat.

Persedian makanannya semakin menipis. Mereka mengumpulkan kelapa dan pisang sebagai bekal tambahan makanan. Suatu hari, bahkan mereka juga membunuh sapi milik warga sipil untuk dimakan.

Pada Oktober 1945, selebaran yang mengklaim perang telah usai jatuh dari pesawat terbang. Tapi Onada tidak mempercayainya. Yakin bahwa itu hanya propaganda, ia dan anak buahnya terus bersembunyi di dalam hutan.

Hari terus berlalu, semakin banyak selebaran yang dijatuhkan dari pesawat. Banyak juga surat kabar yang memberitakan bahwa perang dunia II memang sudah usai. Foto-foto dan surat-surat dari kerabat juga dijatuhkan. Orang-orang juga mengumumkannya melalui pengeras suara. Tapi Onada dan anak buahnya selalu curiga dan tidak percaya, jadi mereka tetap bersembunyi di dalam hutan.

Tahun-tahun berlalu. Keempat lelaki itu berkerumun di tengah hujan. Mereka mencari makanan bersama. Kadang-kadang mereka juga menembaki penduduk pulau asli, percaya bahwa mereka adalah tentara musuh yang menyamar.

Pada tahun 1949, salah satu pria meninggalkan yang lain dan menyerah. Pada tahun 1953, seorang pria lain terbunuh dalam pertempuran kecil di pantai. Dua lelaki yang tersisa Kozuka dan Onada terus tinggal di hutan selama 20 tahun berikutnya. Mereka percaya misinya adalah bersembunyi di belakang garis musuh untuk mengumpulkan informasi. Selama bertahun-tahun, mereka menunggu hari ketika pasukan Jepang akan datang dan merebut kembali pulau-pulau Filipina.

Pada Oktober 1972, setelah 27 tahun bersembunyi, Kozuka terbunuh dalam bentrokan dengan patroli Filipina. Sekarang Onada tinggal sendirian.

Pada 1974, seorang siswa putus sekolah di Jepang bernama Norio Suzuki memberi tahu teman-temannya bahwa ia akan melakukan perjalanan menuju Filipina. Sambil bercanda akan menemukan Letnan Onada. Tak disngka, siswa tersebut benar-benar melakukannya.

Suzuki berusaha meyakinkan Onada bahwa Perang Dunia II benar-benar berakhir. Onada masih bersikeras bahwa dia hanya akan menyerah jika komandannya yang memerintahkannya.

Suzuki kembali ke Jepang dan menemui komandan tua, Mayor Taniguchi. Taniguchi melakukan perjalanan ke Filipina dan bertemu dengan Onada.

Ketika Onada membaca perintah yang menyatakan bahwa semua aktivitas pertempuran harus dihentikan, dia terkejut. Butuh beberapa saat untuk meyakinkan dirinya. Kemudian dia baru sadar telah menghabiskan 29 tahun sebagai pejuang gerilya dalam perang yang tidak ada lagi. Hal itu membuatnya sangat sangat terpukul dan marah.

Letnan Onada bukanlah satu-satunya tentara Jepang yang bersembunyi di Filipina.

Pada tahun 1972, Shoichi Yokoi menyerah di pulau Guam. Pada 1974, Teruo Nakamura menyerah di Pulau Morotai di Indonesia.

Selama perang, sekelompok orang yang selamat – dari kecelakaan kapal Jepang yang tenggelam berhasil mencapai Pulau Anatahan. Mereka bertahan hidup dengan menjalani kehidupan primitif. Mereka membangun pondok daun palem dan makan kelapa, talas, tebu liar, ikan, dan kadal.

Tepat sebelum perang berakhir, sebuah pesawat pembom Amerika jatuh di pulau itu, menewaskan seluruh kru. Dalam perjuangannya untuk bertahan hidup, tentara Jepang itu lalu mengkanibalkan pesawat.

Mereka membuat pot kasar, pisau, dan atap untuk gubuk tempat tinggal dari logam. Parasut nilon diubah menjadi pakaian. Taliparasut diubah menjadi tali pancing. Gagang senapan mesin berubah menjadi tangkai pancing.

Penduduk asli dari pulau terdekat menemukan orang Jepang tersebut. Angkatan Laut menjatuhkan pamflet untuk memberi tahu para prajurit penentang ini bahwa perang telah berakhir. Namun mereka justru malah mengabaikan pamflet.

Akhirnya, anggota keluarga mereka menulis surat-surat, yang dijatuhkan ke tempat persembunyiannya di dalam hutan.

Akhirnya, pada Juni 1951, “Operasi Penghapusan” mulai berlangsung. Baru pada saat itulah para prajurit tersebut secara resmi menyerah.

Bagi kebanyakan dari kita, Perang Dunia II memang sudah berakhir lebih dari 70 tahun yang lalu. Tapi mungkin tidak untuk semua orang.