Beranda Lokal Dua Wilayah Ini Berkandidat Besar jadi Ibu Kota Baru Indonesia

Dua Wilayah Ini Berkandidat Besar jadi Ibu Kota Baru Indonesia

Sembari bersiap siaga untuk memindahkan ibu kota negara, pemerintah juga telah mempertimbangkan untuk melakukan pemindahan pusat pemerintahan ke pulau yang terletak di tengah-tengah Indonesia.

Tugu Soekarno, Palangka Raya

Tugu Soekarno, Palangka Raya

Kepala penelitian pada studi populasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Herry Yogaswara, yang telah terlibat dalam diskusi tentang ibu kota baru dengan pemerintah selama empat tahun terakhir, mengatakan bahwa pilihan yang saat ini tersedia adalah provinsi-provinsi yang ada di Kalimantan dan di Sulawesi.

Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat berada di urutan teratas, sementara para ahli belum membahas secara pasti kota atau kabupaten mana yang akan dikunjungi.

“Palangkaraya (di Kalimantan Tengah) dibahas karena ini adalah ide mantan presiden Sukarno ketika kota itu didirikan pada 1950-an,” kata Herry.

Hasil pengamatan kota baru-baru ini juga telah membuktikan bahwa itu adalah pilihan yang baik. Palangkaraya memang ideal sebagai ibu kota negara berdasarkan kriteria pemerintah, mengingat lokasi geologis dan struktur tanahnya.

“Kalimantan bebas gempa, tetapi memiliki masalah dengan banjir dan kebakaran hutan dan lahan,” katanya.

Presiden Joko Widodo dan kabinetnya membahas rencana relokasi pada sebuah pertemuan pada hari Senin, menghidupkan kembali rencana berumur puluhan tahun untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta, yang sudah mengalami kemacetan lalu lintas yang parah dan banjir musiman.

Rencana tersebut mungkin juga sebagai bentuk pelepasan pembangunan sentris Jawa yang dibawa dari era Orde Baru mantan presiden Soeharto, dimana kemajuan difokuskan pada pulau yang paling padat penduduknya. Pemerintah menyebut bentuk pemerataan ini sebagai Indonesia Sentris.

Selain merencanakan untuk mendirikan ibu kota baru di pusat negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menetapkan bahwa tanah tersebut harus bebas dari gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi dan kebakaran hutan dan lahan.

Lokasi baru tersebut juga harus memiliki perkebunan milik negara yang luas tersedia untuk mengurangi biaya investasi, sumber daya air yang cukup, bebas dari pencemaran lingkungan, dekat dengan kota-kota maju yang ada, memiliki ketersediaan jaringan listrik dan komunikasi, potensi rendah terhadap konflik sosial dan harus memenuhi pertahanan dan persyaratan keamanan.

Seorang ahli geologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nugroho Imam Setiawan, mengatakan dalam hal kondisi geologis dan geografis, Palangkaraya memiliki risiko lebih kecil daripada Jakarta.

Dia mengatakan daerah selatan Jawa memiliki jalur subduksi aktif, yang menyiratkan bahwa ia memiliki gunung berapi dan garis patahan aktif. Sementara Palangkaraya relatif aman karena jauh dari jalur subduksi. “Tidak ada gunung berapi aktif atau garis patahan di Palangkaraya,” katanya.

Bappenas menyatakan bahwa mereka memiliki dua skenario dalam memindahkan perwakilan negara ke ibukota baru. Dalam skenario pertama, akan dipindahkan 195.550 pejabat, dengan total populasi di ibu kota baru tersebut mencapai 1,5 juta orang termasuk keluarga dan pelaku ekonomi.

Dalam skenario kedua, akan dipindahkan 111.510 orang, dengan total populasi di ibu kota baru mencapai 870.000. Berdasarkan dua skenario ini, diperkirakan bahwa biaya yang dibutuhkan bisa mencapai sekitar Rp 323 triliun menjadi Rp 446 triliun.

Urbanis Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menolak rencana tersebut, dengan mengatakan hal itu membuat pemerintah seolah “menyerah” pada Jakarta.

Dia menambahkan bahwa memindahkan ibukota akan memerlukan konsensus politik dari partai politik dan DPR, yang dapat berubah begitu kepresidenan berpindah tangan.

“Memilih lokasi saja dapat memakan waktu lima tahun dan pada saat itu masa jabatan Presiden akan berakhir. Kami tahu dari pengalaman bahwa pemimpin yang berbeda memiliki prioritas kebijakan yang berbeda, ”katanya. “Apa jaminan bahwa pemerintah selanjutnya akan menindaklanjuti proses yang bisa berlangsung selama beberapa dekade?”

Pakar konstitusi Bivitri Susanti mengatakan bahwa Konstitusi tidak menetapkan batasan atau peraturan apa pun mengenai ibu kota, hanya menetapkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan harus ditempatkan di ibu kota.

Namun, Jokowi masih membutuhkan dukungan DPR untuk menjalankan rencananya.

“Dalam hal undang-undang, mungkin akan ada dua produk akhir, yaitu revisi undang-undang 2007 tentang wilayah ibukota khusus Jakarta dan undang-undang baru yang merinci penciptaan ibukota baru,” katanya, menambahkan bahwa undang-undang akan hanya dibuat menjelang akhir proses.

“Sementara itu, perencanaan dan pembangunan kota harus dimasukkan dalam anggaran negara tahunan, yang membutuhkan persetujuan DPR.”