Beranda Dunia Islam Rangkuman Fakta Sejarah Kehidupan Arab Sebelum Islam

Rangkuman Fakta Sejarah Kehidupan Arab Sebelum Islam

Sejarah Arab
Penduduk Arab zaman dahulu hidup dengan pindah-pindah tempat

Daratan Hijaz yang bergunung dan kering bukanlah lingkungan yang bisa memberikan kehidupan nan layak. Terletak di bagian barat Semenanjung Arab daerah ini dapat dilukiskan dengan dua kata: kering dan panas. Pada musim panas, suhunya bisa mencapai lebih dari 37 derajat Celsius dengan kelembapan rendah. Jauh ke arah timur, bukit-bukit pasir menandai dataran tanpa ada tetumbuhan hijau atau permukiman tetap. Tetapi, dari daratan yang kejam ini, pada awal 600-an Masehi, bangkit sebuah gerakan baru. Gerakan inilah yang kemudian mengubah total haluan sejarah Semenanjung Arab hingga dunia.

FAKTA GEOGRAFIS

Luas Semenanjung Arab lebih dari dua juta kilometer persegi di wilayah pojok barat laut benua Asia. Letaknya yang di antara Asia, Afrika, dan Eropa, membuat tanah ini memiliki hubungan unik dengan tiga benua Dunia Lama. Sekalipun posisinya strategis, Arab diabaikan sebagian besar orang luar. Orang Mesir Kuno memilih meluaskan wilayah ke Bulan Sabit Subur1 dan Nubia daripada ke padang pasir Arab. Aleksander Agung hanya melintasinya pada 300-an SM dalam perjalanan ke Persia dan India.

Kekaisaran Roma yang hebat mencoba melakukan invasi ke semenanjung ini melalui Yaman pada 20-an SM. Tetapi, mereka tak mampu beradaptasi dengan kerasnya daratan ini sehingga gagal menguasainya. Hampir tak ada yang bisa menyalahkan orang luar bila mengabaikan Semenanjung Arab. Iklim keringnya sangat tidak ramah, bahkan bagi para suku nomaden yang tinggal di sana. Angin muson membawa hujan musiman ke pantai selatan semenanjung pada musim gugur. Tetapi, hujan ini tertahan oleh dataran yang naik sehingga tak pernah bisa sampai ke Gurun Arab. Akibatnya, sebagian besar semenanjung tetap kering sepanjang tahun. Palung kering yang disebut wadis memanjang sepanjang daratan, tetapi hampir tak bisa dikenali sebagai sungai.

Saat awan berkumpul dan turun hujan, wadis menjadi jalur air yang mengalir dan bermanfaat, yang penting bagi pertumbuhan tanaman musiman sehingga bisa berkembang di daratan kering ini. Tetapi, begitu musim hujan berakhir, wadis kembali ke keadaan biasanya, kering dan tak bermanfaat sebagai sumber air. Yang lebih bisa diandalkan adalah oasis-daerah subur kecil yang dikelilingi gurun sangat luas. Oasis bisa menjadi tempat tinggal komunitas kecil atau tempat singgah orang yang bepergian. Tetapi, oasis jarang bisa menunjang masyarakat maju dan besar.

Note: 1. Kawasan berbentuk bulan sabit yang terdiri atas tanah subur di antara tanah gersang di Asia Barat. Lembah Sungai Nil, serta Delta Sungai Nil kawasan Afrika Timur Laut.

FAKTA SUKU ARAB

Kebudayaan cenderung dibentuk oleh lingkungan tempatnya berkembang, tidak terkecuali kebudayaan Arab. Segala hal tentang kehidupan orang Arab didasarkan pada lingkungan keras tempat ia tinggal. Karena ketidakmampuan gurun mendukung kebudayaan bermukim, orang Arab terusĀ­ menerus berpindah untuk mencari daerah subur bagi kelompoknya. Salah satu teori etimologi sebutan “Arab” bahkan mendasarkan bahwa kata itu sendiri berakar dari istilah bahasa Semit yang berarti ‘berkelana’ atau ‘nomaden’, Orang Arab akan menghabiskan musim panas di sekitar oasis atau sumur mana pun yang dapat diandalkan tahun demi tahun, sambil berusaha menjaga bahan makanan dan persediaan air dengan hidup sehemat mungkin.

Setelah melewati musim panas, mereka akan bermigrasi ke selatan, dekat Yaman, tempat turunnya hujan pada musim semi dan tanah subur untuk ternak mereka. Tumbuhan itu menyediakan cukup makanan bagi kawanan domba, kambing, dan unta untuk hidup sepanjang musim dingin, saat orang-orang mendirikan tenda dan permukiman sementara. Saat hujan berhenti dan musim kering mulai lagi pada musim semi, orang Arab kembali ke oasis dan sumur untuk musim panas berikutnya. Siklus keras ini menjadi norma bagi suku Arab nomaden sejak lama sekali, dan tetap dijalani orang Arab Badui yang masih hidup di padang pasir Arab. Padang pasir bukanlah tempat untuk sendirian. Dengan begitu banyaknya ancaman terhadap keberlangsungan hidup orang Arab, kerja sama komunitas sangatlah penting.

Ketergantungan pada kerabat merupakan garis pertahanan pertama dalam melawan kelaparan dan panas yang terusĀ­ menerus mengancam keberlangsungan hidup. Keluarga diharapkan bisa berbagi bahan makanan serta tempat berteduh, dan konsep individualisme murni sangat tak disukai.

Dalam masa Arab pra-lslam, keramahan sangat penting sehingga tamu di rumah seorang Arab dijamin keamanan dan perlindungannya selama paling tidak tiga hari, bahkan sebelum ditanya mengapa ia datang ke sana. Tradisi ini selanjutnya diperkuat oleh Nabi, yang menyatakan seorang tamu berhak dijamu selama tiga hari.

Keluarga (dan sampai tingkat tertentu, suku) menjadi unit terpenting dalam masyarakat Arab. Sekelompok keluarga bepergian bersama-sama dan disebut kabilah atau klan. Beberapa klan membentuk suku yang dipimpin seorang kepala suku yang disebut shaikh. Identitas dan asal suku sangat penting dalam dunia Arab pra-Islam. Anggota suku akan mendapat perlindungan, dukungan, dan kesempatan ekonomi. Suku-suku akan berperang untuk mempertahankan salah satu anggotanya dan perang suku yang mengerikan umum terjadi sebelum datangnya Islam.

Persaingan memperebutkan tanah berumput dan kawanan ternak kerap membawa suku-suku pada perang yang menghancurkan, yang bisa berlangsung bertahun-tahun dan memakan banyak korban. Bagi orang Arab, perjuangan hidup itu harus terus-menerus dilakukan, baik melawan manusia maupun alam.

Dalam masyarakat suku dan nomaden seperti ini, ungkapan artistik sulit disalurkan. Sumber daya dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan patung dan lukisan seperti kebudayaan kuno Mesir dan Yunani hampir tak ada. Tetapi, hasrat alamiah manusia mencari keindahan tak dapat dilenyapkan oleh pasir gurun. Malahan, hasrat ini menemukan bentuk baru: bahasa. Mungkin lebih dari bahasa lain di dunia, bahasa Arab itu sendiri merupakan sebentuk ungkapan artistik.

Kata dan struktur kalimatnya cair, menciptakan beragam cara untuk mengungkapkan suatu gagasan yang sama. Dengan demikian, puisi menjadi seni de facto di Arab; syair epos panjang yang memuja suku dan kepahlawanan menjadi karya seni terbesar mereka. Penyair terbaik didapuk menjadi pesohor dengan segala cara. Kata-kata mereka diingat oleh publik dan diulang-ulang lintas generasi.

Tujuh syair terhebat pra-Islam dikenal sebagai mu’allaqat, yang berarti ‘yang tergantung’. Syair tersebut dijuluki demikian karena digantung di dinding Kakbah di Mekah, atau tergantung di hati seluruh orang Arab untuk menghormati medium berbentuk syair ini. Meskipun menjadi masyarakat sastra yang maju, tulisan masih langka di Semenanjung Arab.

Akan tetapi, bentuk bahasa tertulis ini pemah muncul pada 500-an Masehi. Hafalan sudah cukup bagi orang Arab, yang mampu mengingat sajak ribuan baris sehingga dapat mengulanginya bagi generasi masa depan. Menghafal nantinya terbukti menjadi kecakapan vital begitu Islam datang di semenanjung ini pada 600-an Masehi. Berbicara tentang agama, orang Arab pra-Islam hampir semuanya politeis. Tradisi Islam meyakini Nabi Ibrahim

(Abraham) dan anaknya, Ismail (Ismael), membangun Kakbah di lembah Mekah pada masa lalu sebagai rumah pemujaan satu Tuhan. Kakbah dibangun dalam bentuk kotak di atas fondasi yang dibuat oleh manusia pertama-Adam. Dari tempat sud ini, Ismail bisa menyampaikan pesan monoteisme kepada bangsa Arab yang telah mengangkatnya sebagai bagian dari bangsa Arab sendiri. Tetapi, selama berabad-abad, anak-cucu Ismail mendistorsi ajaran monoteismenya.

Patung batu dan kayu dibuat untuk menampilkan sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya, mereka menampilkan tuhan-tuhan yang terpisah sama sekali. Menjelang kedatangan Nabi Muhammad, ada 360 tuhan di Kakbah. Pesan Ibrahim dan Ismail tak seluruhnya hilang dari ingatan orang Arab, bahkan beberapa ajaran pokoknya masih berperan penting bagi masyarakat ini. Tentu saja mereka masih memercayai Tuhan-nya Ibrahim dan Ismail, yang dalam bahasa Arab disebut Allah. Tetapi, mereka yakin bahwa Allah hanya salah satu dari banyak tuhan, yang ditampilkan lewat patung.

Sistem kepercayaan ini melenceng jauh dari monoteisme ketat yang diajarkan kedua nabi tersebut serta mencerminkan pengaruh agama Sumeria ke bagian utara. Masyarakat Kristen dan Yahudi yang terisolasi masih ada di dalam Semenanjung Arab dan juga menghormati nabi-nabi tersebut, tetapi itulah ujung kesamaan mereka. Penganut monoteisme yang tersebar di Arab cenderung menghindari asimilasi penuh dengan penganut politeisme Arab, dan malah menciptakan masyarakat yang picik.

FAKTA TETANGGA ARAB

Meskipun berada jauh di gurun Semenanjung Arab, jauh dari kebudayaan yang lebih maju, bangsa Arab tidaklah terisolasi dari para tetangganya sama sekali. Bangsa Romawi telah menjadi adikuasa regional di sepanjang perbatasan utara semenanjung pada dekade awal Masehi. Dengan memadamkan banyak pemberontakan Yahudi di Provinsi Suriah Palestina, Romawi menegakkan kendali mereka di wilayah tersebut. Bagi bangsa Arab Badui, hal ini berarti hadirnya mitra dagang yang kaya dan kuat di sebelah utara.

Para pedagang secara berkala melintasi bagian barat semenanjung, dari Yaman di selatan menuju Suriah di utara, dengan memperdagangkan barang-barang dari tempat-tempat jauh, seperti India dan Italia. Bangsa Romawi sudah puas bertahan di daerah yang lebih ramah dan familier di Bulan Sabit Subur dan membiarkan bangsa nomaden Arab melanjutkan perdagangan ke daerah-daerah yang lebih jauh. Di sebelah timur laut Arab terdapat Plato Iran.

Kebangkitan Dinasti Sassanid di Persia pada 200-an Masehi menghadirkan persaingan panjang antara Romawi dan Persia, yang akan berdampak kepada bangsa Arab. Batas antara dua kekaisaran besar ini berubah-ubah, tetapi biasanya ada di Gurun Suriah, SemenanjungArab sebelah utara. Baik Romawi maupun Persia, berusaha untuk mendapatkan keunggulan dengan memanfaatkan suku-suku Arab (biasanya yang telah memeluk agama Kristen) sebagai wakilnya. Bersemangat memanfaatkan konflik ini untuk kepentingan sendiri, persekutuan dua suku Arab pun berkembang menjadi negara sekutu demi kekuatan besar.

Penguasa Ghassanid mendirikan kerajaan dalam bentuk yang sekarang terdiri atas Yordania, Suriah, dan Palestina. Kerajaan itu berfungsi sebagai penyangga bagi Kekaisaran Romawi. Dengan cara yang sama, Lakhmids mengontrol Mesopotamia selatan dan melayani Persia. Kedua kerajaan Arab ini sangat dipengaruhi oleh majikannya, yang menghabiskan banyak dana untuk mempersenjatai daerah taklukannya dalam menghadapi musuh. Tetapi, peperangan yang terus-menerus terjadi secara perlahan melemahkan seluruh pihak. Menjelang awal 600-an, Romawi dan Persia kelelahan akibat perang berpuluh tahun dan bersembunyi di balik kekuatan militernya.

Ghassanid dan Lakhmid juga merasakan tekanan perang karena mereka hanya pion dalam konflik berkepanjangan ini. Tetapi, kebanyakan suku Arab menghindari konflik eksternal di antara kedua kekuatan imperial tersebut. Mereka lebih tertarik melanjutkan perdagangan yang menguntungkan dengan dua kekaisaran tersebut daripada membantu memutuskan pemenangnya.

Di sebelah selatan semenanjung terdapat Kerajaan Aksum yang kuat di Abyssinia, Ethiopia sekarang ini. Berada di pegunungan Abbysinian, Aksum adalah negara perdagangan kuat yang menghubungkan kerajaan-kerajaan di pedalaman Afrika, rute laut Samudra Hindia, dan bagian selatan Semenanjung Arab. Sebagai tempat persimpangan perdagangan, Aksum berpengaruh besar bagi pedagang Arab yang berdagang dengan orang Aksum di Yaman.

Seperti halnya Romawi, Aksum adalah kekaisaran Kristen yang bersitegang dengan Persia dalam beberapa kejadian. Pengendalian perdagangan melalui Yaman merupakan sumber konflik tanpa henti karena kedua belah pihak berusaha menjadikan para pemimpin lokal sebagai pengikutnya. Dalam globalisasi dunia yang meningkat pada awal 600-an, bangsa Arab sadar akan keberadaan para tetangga mereka dan terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar Semenanjung Arab. Menjadi persimpangan tiga negara besar menyebabkan mereka mafhum akan politik intemasional dan memiliki keahlian memanfaatkan persaingan demi keuntungan mereka.

Meski tinggal di lokasi yang “berbahaya”, bangsa Arab aman di tengah-tengah gurun. Mereka menyebut semenanjung itu Jazirat Al-Arab, yang berarti ‘pulau bangsa Arab’-menggambarkan betapa terisolasinya bangsa ini. Keterisolasian ini terbukti sangat bermanfaat. Lingkungan yang keras membuat tak satu pun negara-negara di sekelilingnya dapat menyerbu dan menduduki tanah Arab. Siklus pengembaraan tradisional dan cara hidup mereka sebagian besar tak terpengaruh oleh politik dan perang regional.

Dalam lingkungan yang terlindung ini, sebuah gerakan akan bangkit pada awal 600-an. Gerakan tersebut akan berimplikasi besar bagi negara-negara sekitamya, dan akhimya seluruh dunia. Gerakan ini akan mengubah nasib bangsa Arab selamanya, dengan membangun dan memanfaatkan kemampuan uniknya serta membuang perilaku budaya negatif yang telah menjadikan mereka bangsa nomaden pengembara dan suka berperang.

Faktor geografi, iklim, dan politik bersama-sama menghadirkan lingkungan sempuma tempat Islam lebih cepat tumbuh menjadi kekuatan dunia dibanding gerakan, agama, atau kekaisaran mana pun di dunia. Kekuatan itu akan menyapu padang Gurun Arab, memasuki Romawi dan Persia yang sudah babak belur, menaklukkan berbagai wilayah dan mengasimilasi beragam bangsa, serta menciptakan imperium yang membentang dari Spanyol sampai India pada awal 700-an-terbesar di dunia saat itu.

Pertumbuhan kekuasaan dan kebudayaan yang eksponensial belum terbayangkan oleh bangsa Arab pada awal 600-an. Merekasaatitu masihberjuang untuk bertahan hidup. Tetapi, semuanya dicapai karena kehadiran seseorang yang membawa pesan revolusioner dan janji bagi nasib baru bangsa Arab, seseorang yang sanggup melangkahi padang pasir Arab: Muhammad.